Sep
23
Hubungan Pengolahan air minum rumah tangga dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2013
Hubungan Pengolahan air minum rumah tangga dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2013
Karya Rudika
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan
kesehatan masih menjadi suatu permasalahan yang belum dicapai secara
optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya indeks kesehatan
masyarakat terutama di negara berkembang. Penyakit yang paling sering
ditemukan di negara negara yang sedang berkembang salah satunya adalah
diare. Diare merupakan penyakit saluran pencernaan yang paling sering terjadi di masyarakat. Penyakit ini ditandai dengan defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah dan lender dalam feses (Sodikin, 2011: 118)
Menurut
Laporan WHO Tahun (2011) sekitar 1 milyar penduduk terserang diare
setiap tahunnya dan sebagian diantaranya adalah anak anak dan balita.
Penyakit diare juga banyak terjadi di Indonesia. Sepanjang tahun (2011) penderita
diare yang menjalani rawat inap di rumah sakit mencapai 71889 sedangkan
kasus yang menjalani rawat jalan 141.556 kasus (Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2012).
Menurut Profil Kesehatan Indonesia Tahun (2012)
Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki tingkat kejadian KLB yang tinggi. Pada tahun ini kasus KLB
diare di Kalimantan Tengah adalah 179 kasus KLB di daerah. Selama
tahun 2011, kasus penyakit diare menduduki peringkat pertama dengan
jumlah kasus 8.402. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas dr Hj Ani
Handaningroem mengungkapkan, puncak kasus diare terjadi pada Agustus
dengan 2006
kasus. "Kasus diare terbanyak ditemukan di kawasan pasang surut saat
musim kemarau, karena di kawasan itu masyarakat mengonsumsi air sungai (http://www.kaltengpos.net).
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012: 8) secara
klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 6 golongan besar yaitu
infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus atau infestasi parasit),
malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya.
Penyebab yang sering ditemukan di lapangan ataupun secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi bakteri, mikroba yang masuk melalui makanan dan minuman. Menurut Departemen Kesehatan RI (2012: 9) Beberapa perilaku yang meningkatkan risiko diare adalah sebagai berikut: menyimpan
makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada
suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak, menggunakan air minum yang tercemar tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja atau sebelum makan, tidak
membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak
berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam
jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi
pada manusia
Menurut Chandra (2009:
28) air minum yang tidak bersih dapat menjadi sumber penularan penyakit
seperti diare. Peryaratan air bersih meliputi tidak berbau, tidak
berwarna, tidak berasa, segar, tidak ada zat kimia, tidak ada pencemaran
limbah atau kotoran tinja dan sampah serta terhindar dari bakteri. Secara
sederhana kita dapat menentukan kebersihan air dengan memperhatikan
indikator tersebut secara kasar atau yang lebih baik dengan bantuan
peralatan penunjang. Air bersih pada dasarnya masih menjadi salah satu
masalah yang dapat berdampak pada kesehatan. Jika air yang dipergunakan
untuk minum tidak bersih misalnya masyarakat mengambil di sungai yang
airnya tercemar sampah rumah tangga, limbah dan kotoran manusia maka hal
ini dapat berpengaruh terhadap terjadinya diare. Diare yang terjadi
karena air minum yang tidak bersih biasanya berkaitan dengan agen
mikrobiologis dan kimia yang masuk ke saluran pencernaan melalui air yang tercemar.
Mencegah terjadinya diare maka salah satu caranya adalah dengan melakukan pengolahan air minum. Menurut
Halim et al (2005: 314) Pengolahan air minum adalah proses mendapatkan
air bersih dan sehat yang sesuai dengan standar mutu air untuk
kesehatan. Cara pengolahan air minum secara sederhana adalah tampung air
ke drum. Larutkan bahan koagulan (tawas) 1 sendik untuk 1 M3
air baku atau 200 gram untuk setiap 200 liter air baku, aduk hingga
rata dan diamkan selama 30 menit sampai kotoran mengendap, alirkan air
ke bak lain (saring) kemudian berikan kaporit 1 sendok teh untuk 1 M3 air bersih tunggu 30 menit, kemudian air siap dimasak atau digunakan untuk keperluan lain
Perilaku penduduk yang sering mengonsumsi air sungai tanpa diolah terlebih dahulu dapat
menjadi salah satu penyebab diare. Air sungai yang ada di wilayah
Kecamatan Pujon tercemar oleh limbah rumah tangga, sampah, dan kotoran
tinja manusia. Hal ini disebabkan karena perilaku warga yang sering
buang sampah dan buang air besar ke sungai. Rumah penduduk yang berada
disekitar daerah aliran sungai juga menjadi salah satu penyebab sungai
tercemar limbah rumah tangga.
Seharusnya air sungai yang mau diminum harus terlebih dahulu diolah
agar bersih dan aman untuk diminum, namun hal ini jarang dilakukan oleh
masyarakat
Hasil studi pendahuluan di Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas pada tanggal 9 oktober 2012. Jumlah penderita diare pada bulan april sampai maret adalah 219 kasus. Hasil
wawancara dengan 15 pasien diare yang melakukan kunjungan ke Puskesmas
Kecamatan Pujon 9 orang (60%) menyatakan sering mengonsumsi air sungai.
Hasil observasi terhadap sungai yang menjadi tempat warga mengambil air
untuk diminum tampak pada air sungai ada kotoran/tinja, sampah, dan limbah rumah tangga yang mencemarinya.
Berdasarkan hasil observasi terhadap 15 rumah tangga. 6 rumah tangga
tidak mengolah terlebih dahulu air yang akan dijadikan minuman. Padahal
seharusnya air tersebut harus terlebih dahulu diendapkan, disaring, dan
diberi kaporit lalu dimasak untuk menjadikan air tersebut bersih dan
aman.
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan pengolahaan air minum rumah tangga dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2012”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : “Apakah ada Hubungan Pengolahan air minum rumah tangga dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2013?”.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pengolahan air minum rumah tangga dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1.Mengidentifikasi pengolahan air minum rumah tangga di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2013.
1.3.2.2.Mengidentifikasi
Kejadian diare pada masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan
Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2013.
1.3.2.3.Menganalisis hubungan pengolahan air minum rumah tangga dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2013.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat untuk mengubah perilakunya dalam pengelolaan air minum.
1.4.2. Bagi Puskesmas
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi petugas
kesehatan di puskesmas untuk berupaya mengubah perilaku masyarakat dalam pengelolaan air minum rumah tangga
1.4.3. Bagi Bidang Keperawatan
Hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan bagi pengembangan ilmu keperawatan
serta dapat dipergunakan oleh perawat dalam memberikan intervensi kepada
masyarakat
1.4.4. Bagi Perguruan Tinggi
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi seluruh
mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin
1.5. Penelitian Terkait
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:
1.5.1. Penelitian
yang dilakukan Suci Oktovia (2011) berjudul “hubungan antara
pengelolaan sampah dan tingkat kejadian diare pada siswa SDN Takisung 2
Kecamatan Takisung. Jenis penelitian adalah analitik. Rancangan
penelitian cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan
antara pengelolaan sampah dan tingkat kejadian diare pada siswa SDN
Takisung 2 Kecamatan Takisung
1.5.2. Penelitian
Yulianti (2009), Stikes Muhammadiyah Banjarmasin, dengan judul
faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan gastritis pada
mahasiswa yang tinggal di kos-kosan jl.S.Parman Rt.25 Kelurahan Pasar
Lama Banjarmasin. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kekambuhan gastritis. Penelitian menggunakan metode analitik dengan
rancangan cross sectional, dengan menggunakan metode kuesioner. Populasi
penelitian adalah mahasiswa yang tinggal di kos-kosan di wilayah S.Parman Rt.25 Kelurahan Pasar Lama Banjarmasin. Subjek penelitian terdiri dari 44 responden. Faktor yang diteliti adalah pengetahuan, pola makan, dan tingkat stres. Hasil penelitian mendapatkan
gambaran dari tiga faktor yang diduga berperan terhadap frekuensi
kekambuhan gastritis. Satu faktor yang tidak berhubungan dengan
frekuensi kekambuhan gastritis yaitu: tingkat pengetahuan dengan nilai ρ
= 0,947. Sedangkan dua faktor yang berhubungan dengan frekuensi
kekambuhan gastritis yaitu: pola makan dengan nilai ρ = 0,041, dan
tingkat stres dengan nilai ρ = 0,020.
1.5.3. Penelitian
Jenny Saherna (2008), Stikes Muhammadiyah Banjarmasin, dengan judul
hubungan antara tingkat ansietas santri baru dengan angka kejadian
gastritis pada pondok pesantren Al Falah Puteri km.23 Banjarbaru. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisa hubungan antara tingkat ansietas
santri baru dengan angka kejadian gastritis pada pondok pesantren al
Falah Puteri Banjarbaru.Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross
sectional, dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling yaitu
cara pengambilan sampel untuk tujuan tertentu, sampel berjumlah 152
santriwati. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observational.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara
tingkat ansietas santri baru dengan angka kejadian gastritis dengan
derajat ρ = 0,01 (ρ < 0,05).
1.5.4. Rivansyah, 2010 dengan judul gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) pada orang tua dengan balita ISPA di wilayah
kerja Puskesmas Anjir Pasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi PHBS orang tua dengan anak (1-4 tahun) ISPA di
Puskesmas Anjir Pasar Kabupaten Barito Kuala. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah cross sectional,
yaitu pengambilan data dilakukan pada satu waktu tertentu. Populasi
dalam penelitian ini adalah orang tua dengan anak yang sedang menderita
ISPA di wilayah kerja puskesmas Anjir pasar. Pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa kuesoner. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya terletak pada judul, variabel, tempat dan
waktu dilakukannya penelitian. Judul pada penelitian ini, hubungan
perilaku mengonsumsi air sungai dengan kejadian diare di Wilayah Kerja
Puskesmas Kecamatan Pujon Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 2012.
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas berupa pengolahan air minum rumah tangga
sedangkan variabel terikatnya adalah kejadian diare pada masyarakat di
wilayah kerja puskesmas Kecamatan Pujon. Penelitian dilaksanakan pada
tahun 2013.
-
Sep24
Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat Mengenali Gejala Penyakit Diabetes Tipe 2 Di Wilayah Banjarmasin Utara
BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDiabetes adalah salah satu penyakit kronis yang paling sering ditemukan sekarang. Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat,lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati. Seseorang di diagnosa menderita DM jika dari hasil pemeriksaan kadar gula darah ketika puasa ≥126 mg/dl, kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl, atau pada 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dl atau HbA1c ≥ 8%. Jika kadar gula darah 2 jam setelah makan > 140 mg/dl tetapi lebih kecil dari 200 mg/dl dinyatakan kadar gula darah toleransi lemah (Kusnandar, 2008).Secara umum orang yang mengalami diabetes akan merasa lapar dan haus terus menerus. Merasa selalu lelah, tidak berenergi dan gatal. Gejala yang lain antara lain pandangan kabur dan nyeri hebat di lambung. Di Indonesia kebanyakan diabetes yang di derita adlah diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 sering dijumpai pada laki-laki maupun wanita yang berusia di atas 40 tahun yang memiliki kelebihan berat badan. Diabetes melitus tipe 2 dapat memicu kemunculan berbagai penyakit yang membahayakan jiwa. Penyakit diabetes tipe 2 dapat berkembang secara bertahap dalam hitungan bulan ataupun tahun tanpa disadari oleh penderitanya sampai benar-benar telah berkembang sempurna (D'Adamo, 2006).Sebagian besar penderita penyakit diabetes tipe 2 diobati dengan menggunakan satu atau lebih obat oral. Obat- obat diabetes dikelompokan berdasarkan golongan obatnya. Ada beberapa kategori obat oral diabetes yaitu misalnya golongan sulfonilurea yang menurunkan kadar glukosa darah dengan cara menstimulasi pankreas untuk melepaskan lebih banyak insulin. Golongan biguanid yang meningkatkan fungsi insulin untuk menggerakan glukosa ke dalam sel-sel tubuh, khususnya ke hati. Diagnosis lebih awal pada penyakit diabetes akan mengurangi resiko terjadinya komplikasi (D'Adamo, 2006)Penelitian dilakukan di wilayah Banjarmasin Utara karena di wilayah ini banyak ditemui penderita diabetes melitus. Dari penyakit diabetes yang di derita kebanyakan merupakan diabetes tipe 2. Dari studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 2 Maret 2013 di wilayah Banjarmasin Utara hanya 2 dari 10 orang yang sudah mengetahui gejala penyakit diabetes, mengetahui perbedaan antara diabetes 2 dengan diabetes tipe 1 serta beberapa obat diabetes. Dengan ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengn judul “Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat Mengenali Gejala Penyakit Diabetes Tipe 2 Di Wilayah Banjarmasin Utara”1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan masalah di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini yaitu “Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan masyarakat dalam mengenali gejala penyakit diabetes tipe 2 di wilayah Banjarmasin Utara?”.1.3 Tujuan PenelitianTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat dalam mengenali gejala diabetes tipe 2 di wilayah Banjarmasin Utara.1.4 Manfaat Penelitian1. Bagi MasyarakatSebagai bahan bacaan dan tambahan pengetahuan agar masyarakat lebih mengetahui tentang penyakit diabetes dan tatalaksana terapi agar dapat mencegah terjadinya penyakit diabetes mellitus dan bagi penderita diabetes agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya.2. Bagi PengetahuanDapat dijadikan bahan bacaan untuk menambah wawasan dan acuan bagi penelitian selanjutnya untuk perkembangan teknologi maupun terapi pengobatan diabetes mellitus.3. Bagi PenelitiDapat digunakan sebagai bahan masukan dan referensi untuk penelitian selanjutnya
.
0Tambahkan komentar
-
Sep24
pengaruh terapi kompres hangat terhadap reaksi inflamasi pasien flebitis di instalasi rawat inap RSUD Brigjend H. Hasan Basri Kandangan Tahun 2013
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangRumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam ruangan yang berdekatan atau antara satu tempat tidur dengan tempat tidur lainnya. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh, dimana enam puluh persen pasien yang dirawat di Rumah Sakit menggunakan infuse atau yang dikenal dengan terapi intravena. Terapi intravena terjadi disemua lingkungan keperawatan kesehatan seperti perawatan akut, perawatan emergensi, perawatan ambulatory dan perawatan kesehatan di rumah, (Scahffer, et all, 2006). Terapi intravena berisiko menimbulkan komplikasi yang bersifat lokal yang salah satunya akan menyebabkan flebitis sebagai kejadian terbanyak (Weinstein, 2012: 61)
Flebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia, faktor mekanik maupun agen bakteri yang sering terjadi sebagai komplikasi dari terapi vena. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat kejadian infeksi nosokomial di institusi pelayanan kesehatan berkisar 3-21 persen. Perwakilan dari WHO Jenewa sekaligus ketua program WHO First Global Patient Safety Challenge dalam acara seminar nasional Global Patients Safety Challenges: Clean Care is safer Care’ di Hotel Shangri-la, infeksi nosokomial ini biasanya mengalami peningkatan sampai 10 kali lipat di beberapa Negara berkembang (Pittet, 2009).
Jumlah kejadian flebitis menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat inap, Indonesia Tahun 2010 berjumlah 744 orang (17,11%), (Depkes, RI, 2008). Angka kejadian plebitis di RSU Mokopido Tolitoli pada tahun 2006 mencapai 42,4%, (Fitria, 2007). Penelitian lain yang dilakukan di RS DR. Sarjito Yogyakarta ditemukan 27,19% kasus plebitis pasca pemasangan infus (Baticola, 2002). Penelitian Widianto (2002) menemukan kasus plebitis sebanyak 18,8% di RSUD Purwokerto. Dan di instalasi rawat inap RSUD Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2002 diemukan kejadian plebitis sebanyak 26,5% kasus, (Saryati, 2002). Dari laporan tahunan pengendalian infeksi nosokomial RSUD Ulin Banjarmasin pada tahun 2008 -2012, didapatkan angka kejadian flebitis sebagai komplikasi pemasangan terapi intra vena 0,41% atau 47% dari seluruh kejadian infeksi nosokomial.
Gejala flebitis dapat berupa nyeri, bengkak, kemerahan, indurasi dan teraba seperti kabel dibagian vena yang terpasang kateter. Respon yang paling sering dirasakan oleh pasien flebitis adalah nyeri yang mengganggu. Metode farmakologi yang digunakan untuk penatalaksanaan nyeri meliputi analgetika narkotika dan analgetika non narkotika, sedangkan metode non farmakologi yang digunakan seperti mengatur posisi dengan tepat, relaksasi, distraksi, massase dan stimulasi kulit berupa kompres dapat dilakukan untuk penatalaksanaan nyeri (Weinstein, 2012: 61)
Metode non farmakologis seperti kompres merupakan tindakan mandiri dari perawat, ekonomis dan tidak menimbulkan efek samping. (Potter, Perry, 2005). Menurut Doengos (2010: 519) kompres hangat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan sirkulasi oksigen pada area hipoksia sehingga dapat menurunkan intensitas nyeri. Pada inflamasi kompres hangat akan meningkatkan aliran darah dan melunakkan eksudat (Kozier, et all, 2009: 433)
Penelitian yang dilakukan oleh Smriti Arora, Manju Vatsa, and Vatsla Dadhwal yaitu, kompres panas dan dingin dan daun kubis efektif dalam mengurangi pembengkakan dan nyeri payudara pada ibu postnatal (P ≤ 0,001) daun kol dingin dan kompres panas dan dingin berdua sama-sama efektif dalam mengurangi pembengkakan payudara (P = 0,07. ), sedangkan kompres panas dan dingin yang ditemukan lebih efektif daripada kubis dingin daun dalam meredakan nyeri akibat pembengkakan payudara (P ≤ 0,001) pada ibu setelah melahirkan (http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis di RSUD Brigjend H. Hasan Basri Kandangan, bahwa kejadian flebitis dari Bulan Januari sampai Bulan Mei 2012 berjumlah 47 orang (18,5%) dari 254 pasien rawat inap. Hal ini belum lagi jika ditambah dengan kasus flebitis yang tidak terdokumentasikan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti melihat bahwa pasien pasien yang terpasang infus lama dalam jangka waktu lebih dari 24 jam sebagian besar mengalami bengkak, kemerahan, panas dan nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa flebitis sering terjadi di rumah sakit tersebut.
Hasil dari wawancara pada 5 orang pasien yang mengalami flebitis, 4 orang pasien mengatakan mengalami nyeri sedang dan 1 orang mengatakan mengalami nyeri ringan. Tampak kemerahan dan bengkak. Pasien merasakan panas pada sekitar daerah yang terpasang intravena. Berdasarkan hasil observasi di rumah sakit umum daerah Brigjend H Hasan Basri Kandangan Tahun 2013 belum ada SOP dalam penanganan flibitis
Flebitis yang tidak diatasi sedini mungkin dapat mengakibatkan sepsis atau infeksi seluruh tubuh dan respon yang paling dirasakan oleh pasien berupa nyeri. Kejadian flebitis di ruang perawatan seringkali diabaikan oleh perawat. Perawat hanya mengganti area penusukan jarum infus, namun tidak memberikan perawatan yang memadai untuk mengatasi gelaja flebitis pasien.
Teori kompres hangat merupakan salah satu metode keperawatan untuk menurunkan rasa nyeri pasien. Berdasarkan gambaran tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti tentang : “Pengaruh Terapi Kompres Hangat terhadap Reaksi Inflamasi Pasien Flebitis di Instalasi Rawat Inap RSUD Brigjend H. Hasan Basri Kandangan Tahun 2013”
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada pengaruh terapi kompres hangat terhadap reaksi inflamasi pasien flebitis di instalasi rawat inap RSUD Brigjend H. Hasan Basri Kandangan Tahun 2013?
1.3. Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumMengetahui pengaruh terapi kompres hangat terhadap reaksi inflamasi pasien flebitis di instalasi rawat inap RSUD Brigjend H. Hasan Basri Kandangan Tahun 2013.1.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Mengidentifikasi pengaruh terapi kompres hangat terhadap reaksi kemerahan (eritema) pasien flebitis di instalasi rawat inap RSUD Brigjend H. Hasan Basri Kandangan Tahun 2013.1.3.2.2. Mengidentifikasi pengaruh terapi kompres hangat terhadap reaksi pembengkakan (edema) pasien flebitis di instalasi rawat inap RSUD Brigjend H. Hasan Basri Kandangan Tahun 2013.1.3.2.3. Menganalisis pengaruh terapi kompres hangat terhadap reaksi nyeri pasien flebitis di instalasi rawat inap RSUD Brigjend H. Hasan Basri Kandangan Tahun 2013.
1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Bagi InstansiSebagai masukan kepada petugas kesehatan bahwa pentingnya pemberian heath education pada pasien yang terpasang infus serta bahan masukan kepada pihak rumah sakit secara umum dan perawat ruangan secara khusus dalam upaya penanganan keperawatan mandiri dalam mengurangi nyeri pada pasien yang terjadi flebitis.1.4.2. Bagi PasienSebagai bahan masukan kepada pasien yang terpasang infus dan mengalami flebitis agar dapat mengetahui mengenai kejadian flebitis dan penanggulangan nyeri flebitis secara mandiri.1.4.3. Bagi PenelitiMenambah ilmu pengetahuan serta menjadi bahan penerapan ilmu dan informasi yang telah didapatkan peneliti di bangku perkuliahan.1.4.4. Bagi AkademikSebagai bahan masukan dalam menambah khasanah Ilmu Keperawatan
1.5. Keaslian Penelitian1.5.1. Pengaruh Kompres Hangat terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Siswi Kelas 1SMA Muhammadiyah 1 Surabaya. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap penurunan intensitas nyeri menstruasi (dismenore) pada siswi kelas 1 SMA Muhammadiyah 1 Surabaya. Populasi pada penelitian berjumlah 22 orang, teknik sampling yang digunakan adalah Simple Random Sampling, dengan jumlah sample 20 orang. Desain penelitiannya adalah Analitik Pra Ekperimental. Variabel independen pada penelitian ini adalah kompres hangat dan variabel dependennya adalah penurunan intensitas nyeri menstruasi (dismenore) pada siswi. Analisa data menggunakan uji statistik wilcoxon signed rank test. Berdasarkan hasil analisa data dengan menggunakan uji statistik wilcoxon signed rank test dengan nilai kemaknaan p=0.000 (<0.05) menunjukkan bahwa hasil penelitian adalah H0 di tolak dan H1 di terima berarti ada pengaruhnya antara pemberian kompres hangat dengan penurunan intensitas nyeri menstruasi (dismenore).1.5.2. Pengaruh Pemberian Kompres Hangat terhadap Waktu Flatus pada Pasien Post Operasi Seksio Caesarae di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten 2008.Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kompres hangat terhadap waktu flatus pasien post operasi bedah caesar. Penelitian ini bersifat asosiatif analitik dengan rancangan quasi eksperiment (eksperimen semu). Penelitian dilakukan pada bulan mei-juni 2008 dengan jumlah sampel sebesar 30 pasien. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Hasilnya setelah dilakukan analisa data dengan menggunakan uji statistik t test independent maka didapatkan hasil nilai t hitung = 6,504 dan nilai signifikansi (r) 0,000, sehingga jika dibandingkan dengan t tabel = 1,83 dan α = 1%, maka t hitung > t tabel dan ρ < 0,01, sehingga Ho ditolak. Kesimpulannya adalah ada pengaruh pemberian kompres hangat terhadap waktu flatus pada pasien post operasi caesar.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada judul, variable, tempat dan waktu pelaksanaan penelitian.0Tambahkan komentar
-
Sep24
hubungan antara peran perawat sebagai konselor dengan kecemasan pasien gagal ginjal di ruang hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2013
BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangGinjal mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh, karena ginjal adalah adalah salah satu organ vital dalam tubuh. Usia dari populasi penduduk dan adanya peningkatan pravelensi penyakit yang menjadi penyebab penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang semakin berkembang di masa depan.
Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal ,apabila hanya 10% dari ginjal yang berfungsi pasien dikatakan sudah sampai pada penyakit ginjal end-stage renal disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap akhir (Baradero, 2008).
Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal tiba-tiba yang ditentukan dengan peningkatan kadar BUN dan kreatinin plasma, Haluaran urine dapat kurang dari 40 ml per jam (oliguria), tetapi mungkin juga jumlahnya normal atau kadand-kadang dapat meningkat (Siswandi, 2008).
Gagal ginjal kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup (Wilfrid, 2008).
Di Amerika Serikat, sekitar 5% dari pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami Acute Renal Failure (ARF) dan 30% dari pasien yang dirawat di unit perawatan intensif menderita ARF. Pada pasien ARF, 50% mengalami oliguria dan 80% pasien ini meningal. Dari kasus ARF instrinsik, 90% adalah nekrosis tubular akut (Baradero, 2008).
Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut data dari Penetri (Persatuan Nefrologi Indonesia) di perkirakan ada 70 ribu penderita ginjal di Indonesia, Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal cukup tinggi. Namun yang terdeteksi menderita gagal ginjal kronis tahap terminal dari mereka yang menjalani cuci darah (hemodialisa) hanya sekitar 4 ribu sampai 5 ribu saja ini dari jumlah penderita ginjal yang mencapai 4500 orang. Banyak penderita yang meninggal dunia akibat tidak mampu berobat dan cuci darah yang bianya sangat mahal (Vita Health, 2008).
Hasil studi pendahuluan pada 5 Mei 2013, dari data rekam medik bagian hemodialisa pada tahun 2009 total tindakan hemodialisa sebanyak 14.402 tindakan dengan total pasien 230 orang. Pada tahun 2010 total tindakan hemodialisa sebanyak 15.077 tindakan dengan total pasien 227 orang. Pada tahun 2011 terdapat total tindakan hemodialisa sebanyak 15.358 tindakan dengan total pasien 240 orang. Sedangkan pada tahun 2012 tindakan hemodialisa sebanyak 15.635 tindakan dengan total pasien 262 orang.
Dampak psikologis pasien gagal ginjal sangat bervariatif seperti contohnya kecemasan. Kecemasan dalam istilah medisnya sering disebut dengan ansietas,yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan ini tidak memiliki objek yaang spesifik. Kondisi dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal (Murwani, 2009).
Perawat merupakan suatu profesi yang memberikan pelayanan langsung selama 24 jam kepada pasien sehingga perawat dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, salah satunya mengemban beberapa peran saat mereka memberi asuhan kepada kliennya. Perawat sering menjalankan peran ini secara bersamaan, tanpa membedakan satu peran dengan yang lain. Peran yang dibutuhkan pada waktu tertentu bergantung pada kebutuhan klien dan aspek dalam lingkungan tertentu. Perawat sebagai pemberi asuhan, komuikator, pendidik, advokat, konselor, agen pengubah, pemimpin, manejer, manejer kasus, perluasan peran karier (Kozier, dkk, 2010).
Peran perawat sebagai konselor membantu klien mengenali dan menghadapi masalah–masalah psikologis dan sosial serta untuk membina hubungan intrapersonal dan untuk meningkatkan perkembangan personal (Kozier, dkk, 2010).
Peran perawat sebagai konselor dilakukan dengan cara memberikan informasi kepada klien mengenai hal hal yang perlu diketahuinya, membantu klien dalam mencari solusi dari problem yang dihadapinya, membimbing klien dan lain lain. Peran ini apabila dilaksanakan dengan baik akan berpengaruh dalam mengurangi kecemasan klien gagal ginjal
Hasil wawancara dengan pasien yang menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa dengan 7 dari 8 pasien merasa cemas saat menjalani proses hemodialisa, baik dari segi tingkat kesembuhan dan apa yang akan terjadi dalam dirinya.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara peran perawat sebagai konselor dengan kecemasan pasien gagal ginjal di ruang hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2013.
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang akan diteliti adalah “Apakah ada hubungan antara peran perawat sebagai konselor dengan kecemasan pasien gagal ginjal diruang hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2013?”1.3. Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumMengetahui hubungan peran perawat sebagai konselor dengan kecemasan pasien gagal ginjal di ruang hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Mengetahui peran perawat sebagai konselor pada pasien gagal ginjal di ruang hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2013.1.3.2.2. Mengetahui kecemasan pasien gagal ginjal di ruang hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 20131.3.2.3. Menganalisis hubungan antara peran perawat sebagai konselor dengan kecemasan pasien gagal ginjal diruang hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 20131.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Bagi Rumah SakitHasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang dapat digunakan,memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah wawasan tentang hubungan peran perawat sebagai konselor dengan aspek kecemasan pasien gagal ginjal di ruang hemosialisa RSUD Ulin Banjarmasin dan dapat digunakan sebagai bahan dan data untuk penelitian selanjutnya.1.4.2. Bagi Perguruan TinggiHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan bagi seluruh mahasiswa keperawatan1.4.3. Bagi Peneliti lainDiharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.
1.5. Penelitian TerkaitPenelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini namun berbeda dari segi judul, variabel, tempat dan waktu penelitian adalah yang dilakukan oleh : Ayu Suhartini Hubungan Kecemasan Terhadap Keteraturan Menstruasi Pada Remaja Di SMAN 1 Marabahan. Metode penelitian: jenis penelitian analitik dengan rancangan cross sectional. Teknik sampling adalah purposive sampling. Besar sampel 68 responden.Hasil penelitian : tingkat kecemasan yang dialami responden paling banyak adalah kecemasan ringan dengan jumlah 35 orang (51.5%). Sebagian besar responden teratur siklus menstruasinya berjumlah 45 orang (66.2%) namun terdapat 23 orang (33.8%) yang tidak teratur menstruasinya. Berdasarkan uji statistik spearman rho Marabahan p 0.002 < α 0.05 correlation coefficient 0.363 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat kecemasan dengan keteraturan menstruasi pada remaja putri di SMAN1 Marabahan. Nilai kekuatan hubungan adalah sedang.
0Tambahkan komentar
-
Sep23
hubungan perilaku ibu menyusui dengan produksi ASI pada saat menyusui di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten.Tapin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013
hubungan perilaku ibu menyusui dengan produksi ASI pada saat menyusui di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten.Tapin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar belakangASI eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain. Pemberian ASI eksklusif dianjurkan sampai enam bulan pertama kehidupan bayi. Pada tahun 1999, setelah pengalaman 9 tahun, United Nations Children Fund (UNICEF) memberikan klarifikasi tentang rekomendasi jangka waktu pemberian ASI eksklusif yaitu selama 6 bulan yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dengan SK No.450/Menkes/SK/IV/2004 (Depkes RI, 2005).
Pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan resiko bayi mengidap berbagai penyakit seperti radang paru-paru, diare, infeksi/peradangan telinga, asma, kencing manis, overweight dan beberapa infeksi lainnya yang disebabkan oleh kuman. Bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif mempunyai kemungkinan lebih besar menderita kekurangan gizi, obesitas, kanker, jantung, hipertensi dan diabetes. (Suradi dan Roesli, 2008)
Menyusui secara ekslusif pada dasarnya hanya dilakukan oleh sebagian ibu saja, dan masih banyak ibu yang tidak menyusui secara ekslusif. Menurut WHO (2007) ibu yang menyusui secara ekslusif hanya sekitar 60%. Diperkirakan sekitar 171 juta anak didunia tidak memiliki kesempatan disusui secara ekslusif (www.savechildren.org. diakses tanggal 04 Januari 2013)
Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, terlihat adanya tendensi penurunan pemberian ASI. Di kota-kota besar banyak ibu-ibu bekerja untuk mencari nafkah sehingga tidak dapat memberikan ASI nya dengan baik dan teratur. Faktor lain, adalah pengaruh pemakaian pil Keluarga Berencana (KB), gengsi agar kelihatan lebih modern dan karena pengaruh iklan. Alasan lain ibu tidak memberikan ASI adalah penyakit seperti kanker payudara, dan kurangnya pasokan susu. (Proverawati dan Rahmawati, 2010)
Berdasarkan hasil Riskesdas (2010), pemberian ASI pada bayi di bawah 6 bulan belum memuaskan. Pemberian ASI pada umur 0-1 bulan 45,4%, 2-3 bulan 38,3%, dan 4-5 bulan 31%. Secara keseluruhan cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia tahun (2010) hanya 20% jauh dari target yang ditetapkan yaitu 80%. Dari hasil Riskesdas, jenis makanan prelaktal yang paling banyak diberikan ialah susu formula 71,3% (Riskesdas, 2010).
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, ditemukan berbagai alasan ibu-ibu menghentikan pemberian ASI eksklusif kepada bayinya, diantaranya produksi ASI kurang (32%), ibu bekerja (16%), ingin dianggap modern (4%), masalah pada putting susu (28%), pengaruh iklan susu formula (16%) dan pengaruh orang lain terutama suami (4%). (Depkes RI, 2005).
Produksi ASI yang kurang ternyata merupakan salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi ibu dalam memberikan ASI Ekslusif, sehingga hal ini perlu diperhatikan. Produksi ASI yang kurang dapat terjadi karena faktor seperti makanan yang kurang bergizi, kejiwaan seperti stres dan kecemasan dan penggunaan kontrasepsi yang berisi hormon estrogen. (Arifin 2011).
Selain faktor di atas, peneliti beranggapan bahwa produksi ASI juga dapat dipengaruhi oleh faktor perilaku ibu yang kurang baik dalam upaya peningkatan produksi ASI. Perilaku ibu dalam upaya meningkatkan produksi ASI merupakan sesuatu yang penting untuk keberhasilan program ASI. Upaya untuk meningkatkan produksi ASI yaitu dengan mengelola menu makan yang bergizi, meningkatkan frekuensi menyusui, mengosongkan payudara setelah anak selesai menyusui, menjaga kondisi psikologi ibu, rileks dan menghindari stres, hindari susu formula (memberikan ASI eksklusif), hindari dot, dan melakukan perawatan payudara (Meidya, 2007).
Jika ibu tidak melakukan hal ini dengan baik maka ada kemungkinan ibu tersebut tidak dapat memproduksi dalam jumlah yang banyak dan ASI pun menjadi tidak lancar.
Menurut Soetijiningsih et al (2010) apabila ibu tidak mengatur pola makannya dengan baik seperti tidak makan makanan yang bergizi, sedikit minum,merokok, jarang menyusukan bayi, bayi sering menggunakan empongan, ibu tidak menghindari kecemasan dan stress. Hal ini dapat menurunkan produksi ASI.
Fenomena yang sering terjadi di tempat penelitian adalah bahwa pada umumnya masih banyak ibu yang tidak tahu bagaimana cara meningkatkan produksi ASI. Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan ibu memiliki perilaku yang kurang baik dalam upaya meningkatkan produksi ASI dan hal ini dapat menjadikan produksi ASI terganggu, ASI sedikit dan menjadi tidak lancar serta ibu tidak dapat menyusui bayinya selama 6 bulan.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 23 November 2012 di Wilayah Puskesmas Tapin Utara terhadap 12 ibu yang memberikan susu formula ditemukan 4 orang (33.3%) menyatakan bahwa hal tersebut mereka lakukan karena produksi ASI tidak banyak, dan ASI tidak mau keluar. Ketika ditanyakan apakah anaknya sering sakit selama diberikan susu formula. Ibu tersebut menyatakan kalau anaknya kadang-kadang sakit selama diberikan susu formula. Ketika ditanyakan apakah sebelumya ibu mengetahui tentang cara meningkatkan produksi ASI dan apakah pernah melakukan cara cara tersebut. Ibu tersebut menyatakan tidak tahu dan tidak pernah melakukannya.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka peneliti beranggapan bahwa ada hubungan antara perilaku ibu menyusui dengan produksi ASI pada saat menyusui.
Berdasarkan anggapan dasar tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh pada penelitian yang berjudul “Hubungan perilaku ibu menyusui dengan produksi ASI pada saat menyusui di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten.Tapin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013”.
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan pemaparan di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah :“Apakah ada hubungan perilaku ibu menyusui dengan produksi ASI pada saat menyusui di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten.Tapin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013?”
1.3. Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumMenganalisis hubungan perilaku ibu dengan peningkatan produksi ASI di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten.Tapin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 20131.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Mengidentifikasi perilaku ibu dalam upaya meningkatkan produksi ASI di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 20131.3.2.2. Mengidentifikasi Produksi ASI di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 20131.3.2.3. Menganalisis hubungan perilaku ibu dengan produksi ASI di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013
1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Bagi PuskesmasHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi petugas puskesmas dalam upaya memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu menyusui yang ada diwilayahnya berkenaan dengan tata cara meningkatkan produksi ASI.1.4.2. Bagi MasyarakatHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi masyarakat setempat khususnya ibu hamil agar mampu melakukan upaya upaya yang dapat meningkatkan produksi ASI.1.4.3. Bagi penelitiHasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan oleh peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti permasalahan yang sama.
1.5. Keaslian PenelitianPenelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:1.5.1. Hermaliana dengan judul “Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pemberian ASI Eksklusif”, desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan Cross Sectional. Hasil penelitian didapatkan dari 49 ibu menyusui yaitu 36 responden (73.5%) tidak memberikan ASI Eksklusi dan 13 responden (26.5%) memberikan ASI Eksklusif.1.5.2. Rini Hermadayanti “Gambaran Perilaku Ibu Tidak Memberikan ASI Eksklusif”, desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan Cross Sectional. Hasil penelitian didapatkan 35 responden (75.0%) sibuk bekerja dan 15 responden (25.0%) air susu tidak keluar lagi.1.5.3. Maya Lestari dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu Dalam Memberikan ASI Eksklusif”, desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan Cross Sectional. Hasil penelitian didapatkan 30 responden (79,5%) air susunya cukup dan 10 responden (20.5%) lebih mudah memberikannya.Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada judul, variebel dan tempat dilakukannya penelitian. Judul pada penelitian ini “hubungan perilaku ibu menyusui dengan produksi ASI pada saat menyusui di Wilayah Puskesmas Tapin Utara Kabupaten Tapin”. Variabel yang diteliti adalah perilaku ibu menyusui sebagai variabel bebas dan produksi ASI pada saat menyusui sebagai variabel terikat. Tempat penelitian di Puskesmas Tapin Utara. Penelitian dilakukan pada tahun 2013.0Tambahkan komentar
-
Sep23
Hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Akarbosa Pada Penderita Diabetes Mellitus Di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan
BAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangGaya hidup masyarakat menjadi salah satu permasalahan yang membawa dampak besar pada kesehatan. Banyak orang yang sekarang ini kurang memperhatikan gaya hidupnya seperti makan, minum, dan beraktivitas. Masyarakat pada umumnya lebih suka makan makanan yang tinggi kadar gula atau lemak, dan kurang beraktivitas, hal ini menyebabkan mereka mudah menderita penyakit yang salah satunya adalah diabetes mellitus (Sukandar, 2009: 26 )
Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai hiperglikemia akibat defek pada; Kerja insulin (resistensi insulin) dihati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di jaringan perifer otot dan lemak, Sekresi insulin oleh sel beta pankreas, atau keduanya (Soegondo, 2008: 9)
Sekarang ini diabetes mellitus banyak diderita oleh masyarakat, kasus diabetes mellitus di seluruh dunia selalu mengalami peningkatan pada tahun (2010) sebanyak 306 juta orang, sedangkan di negara-negara Asia Tenggara terdapat sekitar 19,4 juta orang (www.library.upnvj.ac.id. diakses tanggal 3 April 2013).
Penyakit ini juga banyak terjadi di Indonesia. Pada tahun (2011) penderita diabetes mellitus di Indonesia tidak kurang dari 5 juta orang, dimana baru 50% yang sadar mengidapnya, dan baru 30% di antara mereka yang datang berobat secara teratur (http://etd.eprints.ums.ac.id Diakses tanggal 19 September 2012).
Di Provinsi Kalimantan Selatan, pasien penderita DM rawat jalan di seluruh rumah sakit, umur lebih dari 65 tahun di Banjarmasin menduduki urutan ke-7 dari 20 penyakit terbanyak dengan jumlah penderita 123 orang (6,45%) sedangkan untuk pasien rawat inap jumlah pasien yang berusia lebih dari 65 tahun menduduki urutan ke-6 dengan jumlah penderitanya 200 orang (4,46%). (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2011).
Kasus diabetes mellitus di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin pada tahun bulan Mei 2013 untuk kunjungan pasien rawat jalan dengan diagnosa Diabetes Mellitus di Poliklinik Penyakit Dalam berjumlah 589 pasien
Penderita DM umumnya berisiko mengalami peningkatan kadar gula darah setelah makan. Apalagi jika makanan yang dikonsumsi mengandung karbohidrat tinggi, gula dan lemak sehingga tidak jarang mereka mengalami hiperglikemia yang mengakibatkan berisko mengalami komplikasi. Komplikasi akibat diabetes tersebut dapat diminimalkan dengan mengontrol kadar gula darah. Mengontrol kadar gula darah dapat dilakukan dengan terapi misalnya patuh meminum obat diabetes. Sekarang ini masih banyak penderita diabetes mellitus yang tidak mematuhi anjuran minum obat. Data yang ditemukan ternyata tingkat kepatuhan terapi jangka panjang pada penderita DM hanya mencapai sekitar 50% (Mosjab et al 2011: 4)
Menurut Niven (2009: 33) penyebab ketidakpatuhan adalah kurangnya pengetahuan penderita tentang regimen pengobatan. Kurangnya dukungan dari keluarga.
Akarbosa merupakan salah satu golongan obat yang sering digunakan untuk terapi penderita diabetes mellitus. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan untuk mengkonsumsinya bersama segelas penuh air pada suap pertama sarapan, diasup bersama makanan. Acarbose terutama sangat bermanfaat bagi pasien DM yang cenderung meningkat kadar gula darahnya segera setelah makan (hiperglikemia postprandial), pasien DM yang diterapi dengan insulin, umumnya akan menurun penggunaan insulinnya jika sudah dikombinasi dengan akarbosa. Akarbosa bekerja dengan cara memperlambat proses pencernaan karbohidrat menjadi glukosa dengan demikian kadar glukosa darah setelah makan tidak meningkat tajam. Efek samping akarbosa adalah menyebabkan perut menjadi kembung, sering buang angin, diare, dan sakit perut (Tobing et al 2011: 43).
Anjuran minum obat akarbosa harus dipatuhi yaitu saat makan atau ketika suapan pertama untuk mendapatkan efek yang diharapkan yaitu untuk mencegah meningkatnya kadar gula darah setelah makan, apabila diminum setelah makan maka tidak akan mendapatkan efek yang diharapkan. Masalah yang ditemukan di tempat penelitian berdasarkan hasil studi pendahuluan pada Mei 2013 di RSUD Ulin Banjarmasin, jumlah kunjungan pasien DM pada bulan Maret 2013 adalah 589 pasien. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 10 pasien. 4 pasien (40%) terdapat indikasi terjadi peningkatan kadar gula darah berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang tertera pada status pasien. Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 pasien diperoleh keterangan 7 pasien tidak mematuhi anjuran terapi pengobatan yaitu 3 tidak minum sama sekali obat akarbosa yang dianjurkan, 4 pasien tidak mematuhi tata cara penggunaan obat akarbosa seperti mengkonsumsi obat tersebut justru setelah makan kadang lebih dari satu jam setelah makan, padahal obat tersebut harus dikonsumsi pada saat makan yaitu pada suapan pertama. Ketidakpatuhan seperti ini dapat mengakibatkan penderita berisiko mengalami peningkatan kadar gula darah, bagi yang mengonsumsi obat akarbosa setelah makan justru tidak mendapatkan efek yang diharapkan sebab obat tersebut hanya mempengaruhi kadar gula darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi setelah itu.
Ketidakpatuhan pasien DM minum obat disebabkan karena kurangnya pengetahuan, dan kurangnya dukungan keluarga. Kurangnya pengetahuan mengenai regimen pengobatan, manfaat obat/terapi menyebabkan pasien tidak patuh sepenuhnya melaksanakan anjuran pengobatan. Hal ini disebabkan karena pengetahuan merupakan dasar bagi perilaku kesehatan. Pengetahuan yang baik mengenai pengobatan akan menjadikan perilaku pengobatan baik, sebaliknya pengetahuan yang kurang dapat menyebabkan perilaku pengobatan yang kurang baik pula. Hasil temuan wawancara dengan 10 pasien Diabetes Melitus (30%) pasien yang tidak minum obat sama sekali disebabkan karena mereka tidak tahu bahwa obat yang diberikan adalah untuk mengendalikan kadar gula darah. Sedangkan (40%) pasien yang minum obat tidak sesuai waktu yang dianjurkan disebabkan karena mereka tidak tahu bahwa obat acarbose diminum sewaktu makan, mereka tidak mengetahui bahwa apabila menggunakan obat ini setelah makan justru tidak memperoleh efek yang diharapkan.
Dukungan keluarga seperti orang orang di sekitar pasien (suami, istri, anak) yang turut serta memberikan informasi mengenai pentingnya minum obat, memotivasi, mengawasi pasien dalam minum obat juga mempengaruhi kepatuhan pasien untuk minum obat. Kurangnya dukungan dapat mengurangi kepatuhan minum obat. Dukungan keluarga terhadap pasien dalam minum obat merupakan faktor penting yang harus diperhatikan sebab pasien dan keluarganya merupakan satu sistem yang saling mempengaruhi sehingga apabila orang orang dalam keluarga mendukung dan memperhatikan pasien dalam minum obat maka akan mengakibatkan pasien lebih patuh untuk minum obat, namun hal ini seringkali tidak diperhatikan oleh keluarga pasien. Temuan hasil wawancara dengan 10 pasien diabetes melitus diperoleh keterangan bahwa keluarga tidak memberikan informasi apa apa mengenai pengobatan sebanyak (60%), dan tidak mengawasi pasien minum obat (40%). Keluarga pasien umumnya tidak tahu menahu mengenai pengobatan dan dukungan yang mereka berikan pun kurang. Hal ini dapat menjadi penyebab pasien menjadi tidak patuh dalam melaksanakan anjuran pengobatan.
Menelaah permasalahan di atas maka peneliti memandang perlu untuk melakukan penelitian tentang: “Hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Akarbosa Pada Penderita Diabetes Mellitus Di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan”
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini:“Apakah ada hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat akarbosa pada pasien diabetes mellitus Di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan?.
1.3. Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumMengetahui hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat akarbosa pada pasien diabetes mellitus Di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan
1.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Mengidentifikasi pengetahuan tentang obat akarbosa pada pasien diabetes melitus di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan1.3.2.2. Mengidentifikasi dukungan keluarga pada pasien diabetes melitus dalam minum obat di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan1.3.2.3. Mengidentifikasi kepatuhan minum obat akarbosa pada pasien diabetes melitus di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan1.3.2.4. Menganalisis hubungan pengetahuan dengan kepatuhan minum obat akarbosa pada pasien diabetes melitus di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan1.3.2.5. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat akarbosa pada pasien diabetes melitus di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan.
1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Bagi Petugas KesehatanHasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi petugas kesehatan di RSUD Ulin Banjarmasin Kalimantan Selatan dalam memberikan konseling kepada pasien yang diberikan obat acarbose sebagai terapi1.4.2. Bagi Profesi KeperawatanHasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian keperawatan periode selanjutnya dan dapat digunakan untuk membuat perencanaan tindakan pada pasien DM yang menjalani terapi pengobatan1.4.3. Bagi PenelitiHasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti tentang perilaku pasien dalam terapi pengobatan diabetes melitus.
1.5. Penelitian TerkaitPenelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini, namun judul, tempat, responden, variabel dan waktu penelitian berbeda adalah sebagai berikut :1.5.1. Zakiah (2006) ”Pengaruh pelaksanaan terhadap kepuasan tindakan discharge planing pada pasien Diabetes Mellitus di ruang rawat inap kelas II dan III RSU PKU Muhammadiyyah Yogyakarta.” Penelitian tersebut menggunakan 30 responden yang diambil secara aksidental sampel dengan metode penelitian desain one shot case study dengan pendekatan cross sectional. Kesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan antara pelaksanaan terhadap kepuasan tindakan discharge planing pada pasien Diabetes Mellitus. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada variable, tempat dan waktu penelitian. Variabel pada penelitian ini adalah pengetahuan, dukungan keluarga sebagai variable bebas sedangkan kepatuhan minum obat akarbosa pada pasien DM sebagai variable terikat. Tempat peneliti di Rumah Sakit Dr Moch Ansari Saleh Banjarmasin tahun 2013. Persamaannya penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada permasalahan penyakit yang diteliti yaitu diabetes melitus dan rancangan penelitian yaitu dengan rancangan cross sectional1.5.2. Hiswani & Rasmaliah. (2010). Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Penelitian analitik korelasional dengan desain cross sectional. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan penyakit DM tipe 2 di Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang tahun 2010. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada variable, tempat dan waktu penelitian. Variabel pada penelitian ini adalah pengetahuan, dukungan keluarga sebagai variable bebas sedangkan kepatuhan minum obat akarbosa pada pasien DM sebagai variable terikat. Tempat peneliti di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2013. Persamaannya penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada permasalahan penyakit yang diteliti yaitu diabetes melitus. Jenis dan rancangan penelitian yaitu analitik korelasional dengan rancangan cross sectional
0Tambahkan komentar
-
Sep23
Faktor faktor yang berhubungan dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru
Faktor faktor yang berhubungan dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru
BAB 1PENDAHULUAN1.1.Latar BelakangInsomnia merupakan gangguan tidur yang seringkali ditemukan pada masyarakat baik kelompok remaja, dewasa ,maupun usia lanjut. Insomnia adalah gangguan tidur dimana seseorang secara terus menerus mengalami kesulitan tidur atau bangun tidur terlalu cepat (Yustinus Semiun, 2006: 33). Seorang pengidap insomnia biasanya sulit untuk tidur, namun sering bangun terlalu awal dipagi hari, sering terbangun dimalam hari, seorang yang insomnia sering tidak merasa segar dan sulit berkonsentrasi (Subandi 2008: 4)
Penderita insomnia tergolong cukup besar. Berdasarkan data di Amerika kasus insomnia mencapai 25 % hingga 35 % dari populasi untuk insomnia jenis transient, sedang untuk insomnia kronis mencapai 10 % hingga 15 %. Hasil survei Warwick Medical School dari Inggris terhadap Negara Negara di Afrika dan Asia diperoleh sekitar 150 juta orang dewasa mengalami gangguan tidur. Rata rata 16,6 % kasus insomnia diantara Negara Negara yang disurvei tersebut. Angka ini mendekati Negara Negara barat yaitu sekitar 20% (http//detik.com diakses tanggal 12 Desember 2012)
Menurut Andreas (2009: 36) fakta tentang pola tidur dewasa muda(remaja) di Amerika Serikat (National Sleep Foundation ) terdapat lebih dari sekitar 30% dewasa muda dilaporkan mengalami kesulitan untuk bangun pagi dibandingkan dengan 20% pada usia 30-64 tahun dan 9% diatas usia 65 tahunSurvei yang melibatkan 4.005 orang di Taiwan baru-baru ini menemukan 21,8 persen penduduk Taiwan memiliki masalah tidur akut."Persentase penderita insomnia di Taiwan lebih tinggi dibandingkan persentase dunia, sekitar 10-15 persen," ujar Dokter Lee Hsin-Chien, seperti dikutip Strait Times. Direktur Psikiatri di Rumah Sakit Shuang-Ho Taipei ini menyebutkan jumlah penderita insomnia di Taiwan sepanjang 2009 meningkat drastis dibandingkan 2000 lalu yang mencapai 10 persen.( http:dunia.vivanews.com diakses tanggal 17 mei.
Sementara sumber lain memperkirakan ada 28 juta penderita insomnia di Indonesia pada tahun 2010 untuk asumsi 10 %” dan penderita insomnia setiap tahunnya terus meningkat. Insomnia merupakan penyakit yang berdampak merugikan, Sebab bisa memicu turunnya produktivitas, kualitas hidup maupun terjadinya kecelakaan kerja” . Terlebih jumlah sekitar 28 juta bukanlah angka yang sedikit. Sangat disayangkan hanya sedikit yang menyadari pengaruh penyakit ini. (http;nationalgeographic.co.id di akses pda tanggal 17 mei 2012)
Beberapa dampak serius gangguan tidur (insomnia) adalah mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi pada seseorang yang tidurnya kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (http://www.aipni-ainec.com diakses tanggal 18 Desember 2012)
Insomnia mengakibatkan banyak pengaruh buruk pada seseorang seperti mengantuk, kurang konsentrasi, perasaan letih dan lemah karena kurang istirahat, ketahanan tubuh melawan penyakit berkurang, ketidakstabilan emosional , terlihat pemarah, cerewet, gelisah, depresi dan lain sebagainya http://digilib.fk.umy.ac.id/Galih Puspitasari, Warih Andan Puspitosari
Menurut Turana , dalam Lukman Junaidi (2007: 310) penderita insomnia potensial mengalami gangguan memori, mudah lupa, juga ia tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan aktifitas kesehariannya bahkan hingga yang paling sepele sekalipun, selain itu insomnia juga menyebabkan seseorang kehilangan motivasi, tidak bersemangat dan malas bekerja
Insomnia merupakan penyakit tidur yang disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti stress, cemas, lingkungan yang bising atau kurang nyaman, obat obatan, dan kebiasan mengonsumsi cafein
Menuut Rafiudin (2004: 58) penyebab insomnia antara lain adalah stress, kelainan kelainan kronis seperti penyakit ginjal, diabetes, atrithis dll, pola makan yang buruk, seperti nikotin, cafein dan zat stimulan, kurang olahraga, dan suasana ramai/berisik
Sejalan dengan hal tersebut menurut Junaidi (2007: 309) insomnia dapat tejadi karena faktor stres, ketegangan, penggunaan obat obatan, cafein dan alkohol, lingkungan yang menggangu/bising/ribut, suhu, dan suasana lingkungan tempat tidur yang kurang nyaman.
Fenomena sekarang ini insomnia juga dapat dialami oleh remaja sekolah, terutama mereka yang tinggal di pondok pesantren. Pesantren merupakan tempat tinggal sekaligus tempat menuntut ilmu yang pada umumnya menerapkan disiplin ketat sehingga kebebasan remaja yang tinggal disana menjadi berkurang. Hal ini dapat menimbulkan stress yang berdampak pada insomnia. Selain itu lingkungan pesantrin juga dapat menjadi faktor penyebab insomnia. Remaja yang tinggal dipesantren harus tidur berdekatan dengan teman temannya yang lain sedangkan ruang tidur sempit. Hal ini dapat menimbulkan ketidaknyaman yang dapat menganggu tidur, akibatnya insomnia.Hasil studi pendahuluan yang dilakukan disalah satu pesantren di Banjar Baru pada tanggal 10 Desember 2011. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru. Diperoleh keterangan bahwa 60% dari 10 santriwati mengalami gangguan tidur berupa sulit tidur dan sering terbangun tengah malam. Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 santriwati tersebut 4 orang yang mengalami kesulitan tidur menyatakan stress karena harus peraturan disiplin dan lingkungan sekitar yang membuat mereka jenuh. Ketika peneliti melakukan observasi terhadap faktor lain yang berpotensi menyebabkan santriwati mengalami gangguan tidur tampak suasana lingkungan tempat tidur santri tidur berdamping dengan teman temannya, dan terkadang rebut. Santriwati juga sering minum the, dan soft drink. Hasil pengamatan tersebut maka peneliti beranggapan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan insomnia pada santri yaitu stress, kondisi lingkungan yang kurang nyaman, dan konsumsi kafein
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut permasalahan ini pada penelitian yang berjudul “Faktor faktor yang berhubungan dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru”.
1.2.Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah pada penelitian ini adalah “apakah sajakah faktor faktor yang berhubungan dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru?”.1.3.Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumMenganalisis faktor faktor yang berhubungan dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru1.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Mengidentifikasi stress yang dialami santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru1.3.2.2. Mengidentifikasi kondisi lingkungan sekitar tempat tidur santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru1.3.2.3. Mengidentifikasi konsumsi kafein pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru1.3.2.4. Menganalisis hubungan stress dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru1.3.2.5. Menganalisis hubungan kondisi lingkungan sekitar tempat tidur dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru1.3.2.6. Menganalisis hubungan konsumsi kafein dengan dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru
1.4.Manfaat Penelitian1.4.1. Bagi Tempat PenelitianHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pengelola pesantren untuk dapat memperhatikan aspek aspek yang dapat menyebabkan gangguan tidur pada santriwatinya dan dapat dipakai sebagai bahan masukan bagi para santriwati untuk melakukan upaya pencegahan terhadap insomnia1.4.2. Bagi Bidang KeperawatanHasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pengembangan ilmu keperawatan dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perawat untuk dapat terlibat dalam upaya pencegahan insomnia pada santriwati yang berada dipesantren1.4.3. Bagi Perguruan TinggiHasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi seluruh mahasiswa program studi ilmu keperawatan1.4.4. Bagi PenelitiPenelitian ini dapat menambah wawasan peneliti dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian tentang gangguan tidur pada santriwati di wilayah tersebut
1.5.Penelitian TerkaitPenelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini namun terdapat perbedaan pada judul, variabel, tempat dan waktu penelitian antara lain adalah sebagai berikut:1.5.1. Penelitian Siswandi (2012) berjudul “Hubungan antara insomnia dengan terjadinya hipertensi pada lansia dip anti sosial tresna werdha banjarbaru Kalimantan selatan. Metode penelitian analitik kolerasi dengan menggunakan pendekatan cross section. Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan antara insomnia dengan terjadinya hipertensi pada lansia di panti secial tresna werdha “ budi sejahtera” banjarbaru Kalimantan selatan.1.5.2. Penelitian Halifah (2012) berjudul “Efektifitas teknik relaksasi progresif terhadap berkurangnya keluhan insomnia pada lansia di pstw “budi sejahtera”. Metode penelitian yang digunakan uasi eksperimen yang termasuk ke dalam pretest and posttest one group design. Subjek penelitian adalah lansia yang mengalami insomnia. Hasil penelitian terdapat perbedaan tingkat insomnia responden sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif. Perbedaan di lihat tingkat keluhan insomnia dari insomnia sangat berat sebanyak 3 orang menjadi insomnia ringan sebanyak 2 orang dan 1 orang sudah tidak mengalami keluhan, insomnia berat sebanyak 10 orang menjadi insomnia ringan sebanyak 8 orang dan 2 orang tidak mengalami keluhan insomnia ringan sebanyak 16 orang menjadi tidak ada keluhan.1.5.3 Muhammad Yasar (2012) berjudul “Hubungan antara frekuensi penggunaan fasilitas jejaring sosial dengan kejadian insomnia pada mahasiswa S1 keperawatan semester IV di STIKES muhammadiyah Banjarmasin Kalimantan selatan”. Metode penelitian jenis ini adalah survey analitik korelasional dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 keperawatan semester IV di STIKES muhammadiyah dengan jumlah sampel 80 orang responden dengan teknik simple random sampling. Pengumpulan data dengan kuesoner, data yang di dapat di analisis dengan uji chi square dengan α =0.05. hasil penelitian : menunjukan sebagian besar responden yang pernah menggunakan jejaring sosial (96,25 %), sebagian besar responden mengalami insomnia (86,25 %), dapat di simpulkan bahwa hipotesis alternative (HI) di terima, ada hubungan yang bermakna antara frekuensi pengguna fasilitas jejaring sosial dengan kejadian insomnia pada mahasiswa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada judul, variabel, tempat dan waktu penelitian. Judul pada penelitian ini “ hubungan insomnia dengan konsentrasi kerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Dr Moch Ansari Saleh Banjarmasin Provensi Kalimantan Selatan 2013 “. Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu insomnia pada perawat Inap Rumah Sakit Umum Dr Moch Ansari Saleh Bamjarmasin. Penelitian dilaksanakan tahun 2013Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada judul, variabel, tempat dan waktu penelitian. Judul pada penelitian ini “faktor faktor yang berhubungan dengan insomnia pada santriwati Madrasah Aliyah Al-Falah Putri Banjarbaru”. Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas berupa stress, kondisi lingkungan, dan konsumsi kafein sedangkan variabel terikatnya adalah insomnia pada santriwati, tempat penelitian di Madrasah Aliyah Al Falah Putri Banjarbaru. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2013
0Tambahkan komentar
-
Sep23
hubungan kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka dengan infeksi post section caesarea (SC) di Ruang Cempaka RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2013
hubungan kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka dengan infeksi post section caesarea (SC) di Ruang Cempaka RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2013
BAB 1PENDAHULUAN1.1.Latar BelakangPeran perawat adalah sebagai promotor dimana peran ini dilakukan untuk meningkatkan kesehatan dan kemampuan keluarga dalam memilih pertolongan persalinan yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi serta mengurangi angka kematian ibu dan bayi (Depkes,2008)
Persalinan normal merupakan proses dari keluarnya bayi dari vagina dengan lama persalinan kurang dari 24 jam. Proses ini terkadang tidak berjalan secara semestinya dan janin tidak lahir secara normal karena beberapa faktor yaitu komplikasi kehamilan, disproporsi sefalo pelvic, partus lama, rupture uteri, cairan ketuban yang tidak normal, kepala panggul. Keadaan tersebut perlu tindakan medis berupa operasi sectio caesarea (Sugiharta 2007)
Kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka dapat mengakibatkan infeksi pada pasien pasca bedah caesarea. Jika perawat tidak mematuhi prosedur tetap perawatan luka seperti tidak menjaga kebersihan tangan ketika merawat luka, tidak menggunakan peralatan yang steril, menggunakan bahan bahan yang tercemar maka hal ini dapat berdampak pada meningkatnya risiko infeksi pada pasien post operasi caesarea (Ismael, Iswandi (2008: 1)
Infeksi adalah proses masuknya penyakit kedalam tubuh dan menimbulkan gejala penyakit. Terdapat dua jalan tempat infeksi dapat mencapai kulit yaitu, melalui internal dan eksternal. Internal melalui berbagai jalan seperti aliran darah, dan eksternal dengan menembus barier kulit. Salah satu yang dapat menyebabkan infeksi ialah bakteri. Invansi bakteri terjadi pada saat terjadi trauma pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala infeksi sering muncul 2-7 hari setelah pembedahan, gejala infeksi antara lain adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak disekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan sel darah putih. (Patologi Umum dan Sistematik Vol 2)
Medical error sering dihubungkan dengan infeksi nasokomial, salah satunya adalah Infeksi Luka Operasi (ILO). Infeksi tersebut menyerang pasien yang menjalani operasi/tindakan pembedahan baik di bagian bedah maupun di bagian lain, termasuk bagian Kebidanan dan Kandungan. Infeksi sesudah operasi sectio caesarea dapat mengakibatkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas ibu. Apabila dikaitkan dengan factor penyebab ILO, adanya kasus ILO diduga akibat pekerjaan dari perawat di ruang rawat yang tidak sesuai dengan evidence based dari Standard Operating Procedures (SOP) perawatan luka yang ada (Ismael, Iswandi (2008: 1)
Sectio Caesarea atau persalinan sesaria adalah prosedur pembedahan untuk melahirkan janin melalui sayatan perut dan dinding rahim. Operasi ini semakin meningkat sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan persalinan. Indikasi yang banyak dikemukakan adalah; persalinan lama sampai persalinan macet, ruptura uteri iminens, gawat janin, janin besar, dan perdarahan antepartum. Namun sekarang banyak operasi tidak pada indikasinya, kenyataannya banyak operasi saat ini dilakukan atas permintaan pasien meskipun tanpa alasan medis. Mereka umumnya memilih melakukan operasi karena takut kesakitan saat melahirkan secara normal. Alasan lain adalah mereka lebih mudah menentukan tanggal dan waktu kelahiran bayinya. Selain itu, mereka juga ketakutan organ kelaminnya rusak setelah persalinan normal. (Sugiharta, 2007)
Jumlah operasi Sectio Caesarea di dunia telah meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. WHO (2009) memperkirakan angka persalinan dengan operasi adalah sekitar 10% sampai 15% dari semua proses persalinan di negara-negara berkembang dibandingkan dengan Amerika Serikat sekitar 23% dan Kanada 21% pada tahun 2003. Sedangkan di Inggris angka kejadiannya relative stabil yaitu antara 11-12 %, di Italia pada tahun 1980 sebesar 3,2% - 14,5%, pada tahun 1987 meningkat menjadi 17,5%. (Sugiharta, 2007)
Sementara itu di Indonesia terjadi peningkatan Sectio Caesarea dimana tahun 2000 sebesar 47.22%, tahun 2001 sebesar 45.19%, tahun 2002 sebesar 47.13%, tahun 2003 sebesar 46.87%, tahun 2004 sebesar 53.22%, tahun 2005 sebesar 51.59 %, tahun 2006 sebesar 53.68%. (Himatusujanah, 2008)
Survei sederhana pernah dilakukan oleh Prof. Dr. Gulardi dan Dr. A Bassalomah terhadap 64 rumah sakit di Indonesia hasilnya tercatat 18.665 kelahiran pada tahun 2009. dari angka kelahiran tersebut, sebanyak 19.5%, 27.3% diantaranya merupakan operasi caesar karena danya komplikasi chepao pelvis disprotion/CPO (ukuran lingkar pinggul ibu tidak sesuai tingkat kepala janin).
Berikutnya operasi caesar akibat pendarahan hebat yang terjadi selama persalinan sebanyak 11.8%-21% dan kelahiran caesar karena janin sungsang berkisar 43%-81.7%. data lain yang didapat dari RSUP N. Cipto mengunkusumo Jakarta. Tahun 2000-2009 menyebutkan bahwa dari jumlah persalinan sebanyak 404/bulan 30% diantaranya merupakan persalinan caesar, 52.5% adalah kelahiran spontan, sedangkan sisanya dengan bantuan alat seperti occum dan forsep. Berdasarkan persentase kelahiran caesar tersebut, 13.7% disebabkan oleh gawat janin (denyut jantung janin lemah menjelang persalinan) dan 24% karena ukuran janin terlalu besar sehingga tidak dapat melewti pinggul ibu. Sisanya sekitar 13.9% dilakukan tanpa melakukan pertimbangan medis.
Bersamaan dengan hal tersebut, di Indonesia terjadi peningkatan kejadian infeksi luka post Sectio Caesarea yaitu infeksi pada rahim/endometritis, alat-alat berkemih, usus, dan luka operasi. Sekitar 90% dari morbiditas pasca operasi disebabkan oleh infeksi luka operasi. Tercatat RSUP dr. Sardjito tahun 2000 angka kejadian infeksi luka post Sectio Caesarea adalah 15% dan RSUD dr Soetomo Surabaya tahun 2001 angka kejadian infeksi luka 20%. Utomo (1999) menyebutkan bahwa idealnya kejadian infeksi luka operasi (ILO) rumah sakit antara 1,5–8% dengan infeksi luka post Sectio Caesarea merupakan 14,6% dari seluruh infeksi post pembedahan (Himatusujanah, 2008)
Protap perawatan luka pada pasien sectio caesar merupakan salah satu hal yang penting untuk dilaksanakan guna mencegah atau meminimalisir terjadinya infeksi pasca pembedahaan. Perawatan luka pada dasarnya mencakup prosedur penggantian balutan, irigasi luka, dan mengangkat jahitan. Pergantian balutan dilakukan setelah 2-3 hari setelah operasi. Pada prosedur pembersihan luka ketika mengganti balutan digunakan larutan antiseptik atau larutan garam fisiologis, pegang kasa yang dibasahi dalam larutan dengan pinset menggunakan sarung tangan steril satu kali pakai, gunakan satu kasa untuk setiap kali usapan, bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi ke area yang terkontaminasi. Gerakan dalam tekanan progresif menjauh dari insisi atau ketepi luka, gunakan kasa baru untuk mengeringi luka. Irigasi luka atau tindakan pembersihan luka secara mekanis dengan larutan isotonic atau pengangkatan fisik pada jaringan debris, benda asing atau eksudat dengan kasa atau spuit. Prosedur pelaksanaannya antara lain: posisikan klien larutan irigasi mengalir dari bagian atas tepi kebagian kom yang diletakkan dibawah luka. Keringkan luka dengan kasa steril kemudian pasang balutan steril. Adapun mengenai mengangkat jahitan harus dilakukan pada hari ke 5-7 tujuannya untuk mencegah terjadinya infeksi. Prosedurnya antara lain: buka balutan dengan hati hati, mendesinfeksi luka operasi dengan alcohol 70% dan mengolesi luka bekas operasi dengan bethadin solution 10%. Menutup luka dengan kasa steril dan diplester (Ambarwati 2011: 226-229)
Hasil studi penduhuluan yang di lakukan pada tanggal 24-31 januari 2013 di Ruang Cempaka (ruang nifas) RSUD Ulin Banjarmasin. Hasil observasi 5 orang perawat dalam melakukan dressing luka ada 3 (60%) perawat yang tidak mematuhi protap keperawatan yang ada di RSUD Ulin Banjarmasin, dan 2 (40%) orang sesuai protap yang ada. Kekeliruan dalam prosedur perawatan luka yang sering tampak antara lain adalah pada alat yang digunakan terkadang alat di letakan di tempat yang tidak steril seperti di atas meja, tangan ketika memegang luka, tangan tidak dicuci terlebih dahulu, sarung tangan digunakan untuk lebih dari satu pasien, perawat terkadang membersihkan luka dengan kasa bolak balik tidak satu arah
Hasil observasi terhadap 10 orang ibu post partum yang melahirkan dengan cara Sectio Caesarea , 7 (70%) di antara nya terjadi ILO di sekitar luka jahitan, diduga akibat pekerjaan dari perawat di ruangan cempaka yang tidak sesuai dengan evidence based dari Standard Operating Procedures (SOP) perawatan luka yang ada.
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “hubungan kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka dengan infeksi pasca bedah caesarea (SC) di Ruang Cempaka RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2013.”
1.2.Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah pada penelitian ini adalah “apakah ada hubungan kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka dengan infeksi post section caesarea (SC) di Ruang Cempaka RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2013”.
1.3.Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumMenganalisis hubungan kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka dengan infeksi post section caesarea di Ruang Cemapaka (Ruang Nifas) RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2013.1.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Mengidentifikasi kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka pasien post section caesarea (SC) di Ruang Cempaka RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2013.1.3.2.2. Mengidentifikasi infeksi pada pasien post section caesarea (SC) di Ruang Cemapak RSUD Ulin Banjarmasin.1.3.2.3.Menganalisis hubungan kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka dengan infeksi post section caesarea (SC) di Ruang Cemapaka RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2013.
1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Bagi Rumah SakitHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi perawat yang bekerja menangani pasien post sectio caesarea di Rumah Sakit.
1.4.2. Bagi pasienHasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi pasien agar memperhatikan hal hal yang berkaitan dengan infeksi post sectio caesarea agar dapat melakukan pencegahan terhadap permasalahan tersebut.1.4.3. Bagi Bidang KeperawatanHasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu keperawatan dan dapat dipakai untuk menambah wawasan perawat mengenai problem yang akan terjadi post pembedahan.1.4.4. Bagi PenelitiHasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengalaman peneliti tentang masalah yang diteliti serta dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian mengenai infeksi pada post sectio caesarea.
1.5. Penelitian TerkaitPenelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini namun terdapat perbedaan pada judul, variabel, tempat dan waktu penelitian antara lain adalah sebagai berikut:1.5.1. Penelitian M. Ihsan Perdana Putera (2012), “Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Tingkat Kepatuhan Perawat Dalam Pelaksanaan Protap Pemasangan Infus Di Ruang Alexandri (anak) RS. DR. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmsin”. Metode kolerasi dengan rancangan cross sectional, dan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan observasi.1.5.2. Penilitian Dina Meirisa (2012), “Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Tingkat Kepatuhan Perawat Dalam Pelaksanaan Prosuder Tetap Pemasangan Infus Di Ruang Rawat Inap RSUD Buntok Selatan Tahun 2012”. Metode analitik dengan rancangan cross sectional, dan pengumpulan data berupa obsevasi dengan analisis uji statistik chi square & uji kolerasi spearman.1.5.3. Penilitian Nooril Azmi (2010), “Perbedaan Lama Penyembuhan pada Perawatan Luka Pasca Bedah Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Antara Penggunaan NACL Dengan Iodin Povidon Di Ruangan Kenangan RSUD Banjarmasin”. Metode dengan rancangan cross sectional, dan pengumpulan data berupa obsevasi dengan analisis uji statistic square & spearman.Perbedaan penilitian ini dengan penilitian sebelumnya terletak pada judul, variabel, tempat dan waktu penilitian. Judul pada penilitian ini “apakah ada hubungan kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap perawatan luka dengan infeksi post section caesarea (SC) di Ruang Cempaka RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2013”. Variabel dalam penilitian ini terdiri dari variabel bebas berupa kepatuhan perawat dalam melaksanakan protap dan variabel terikatnya adalah infeksi post section caesarea (SC), tempat penilitian di RSUD Ulin Banjarmasin. Penilitan dilaksanakan pada tahun 2013.
HUBUNGAN KEPATUHAN PERAWAT DALAM MENERAPKAN PROTAP PERAWATAN LUKA DENGAN INFEKSI LUKA PASCA BEDAH SECTIO CAESAREA0Tambahkan komentar
-
Sep23
Gambaran persepsi individu tentang pengobatan sendiri di Kelurahan Pemurus Luar wilayah kerja Puskesmas Terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin Tahun 2013.
Gambaran persepsi individu tentang pengobatan sendiri di Kelurahan Pemurus Luar wilayah kerja Puskesmas Terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin Tahun 2013.Karya : Heru PrasongkoBAB 1PENDAHULUAN
A. Latar BelakangPengobatan sendiri akhir-akhir ini menjadi salah satu tindakan yang sering dilakukan masyarakat di berbagai belahan dunia. Menurut Badan POM (2004) masyarakat menjadi lebih aktif dalam masalah kesehatannya, termasuk pengobatan sendiri sebagai contoh 59% dari survei di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka lebih peduli dalam merawat kondisi kesehatan mereka sendiri dibanding tahun lalu. 73% merasa lebih baik merawat diri mereka sendiri di rumah dari pada menemui dokter.Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan kesehatan, maka berkembangnya penyakit di masyarakat tidak dapat dielakkan lagi. Berkembangnya penyakit ini mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan yang efektif secara terapi tetapi juga efisien dalam hal biaya. Berkenaan dengan hal tersebut, swamedikasi menjadi alternatif yang diambil oleh masyarakat. Pengobatan sendiri merupakan kegiatan seleksi dan penggunaan obat oleh pasien secara mandiri untuk mengobati suatu penyakit dan gejalannya (WHO, 2008).Pengobatan sendiri juga dapat didefinisikan sebagai penggunaan obat untuk pengobatan terhadap gejala-gelala yang muncul atau pengobatan yang intermiten atau kelanjutan dari obat yang diresepkan untuk penyakit kronis atau kekambuhan suatu penyakit. Biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain. Pengobatan sendiri dipilih oleh masyarakat untuk mengobati gejala-gejala yang muncul tanpa berkonsultasi dengan dokter (Depkes RI, 2006).Di negara berkembang, banyak penyakit diobati secara pengobatan sendiri. Di negara berkembang umumnya biaya pelayanan kesehatan relatif mahal dan tidak semua kasus penyakit dapat ditanggulangi yang menyebabkan swamedikasi dipilih untuk menjaga kesehatan. WHO mempromosikan praktek pengobatan diri yang efektif dan cepat relief gejala tanpa konsultasi medis dan mengurangi beban pada layanan perawatan kesehatan, yang sering kali kekurangan dan dapat diakses di perdesaan dan daerah terpencil (Phalke et al., 2006).Seseorang bisa mengobati sendiri berawal dari dengan mendapatkan gambaran tentang pengobatan dengan cara mendengar, melihat ataupun hasil membaca, sehingga menimbulkan minat untuk pengobatan sendiri. Ketika seseorang sudah memutuskan untuk mulai pengobatan sendiri maka dia sudah mengetahui akibat dari pengobatan sendiri. Walaupun sudah diketahui dampak dari pengobatan apabila seseorang sudah jadi kebiasaan maka dalam dari pengobatan adalah biasa/tidak berbahaya.Proses mengamati dunia luar yang mencangkup perhatian, pemahaman, dan pengenalan objek-objek atau peristiwa disebut dengan persepsi (Pieter dan Lubis, 2010). Persepsi seseoarang yang lain bisa berbeda dan sama. Oleh karena itu presepsi seseorang tergantung dari individu itu sendiri bagaimana ia memahami.Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus juga makhluk individual, maka terdapat berbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya (Sunaryo, 2004). Adanya perbedaan inilah yang antara lain menyebabkan mengapa seseorang menyenangi suatu obyek, sedangkan orang lain tidak senang bahkan membenci obyek tersebut. Hal ini tergantung bagaimana individu menanggapi obyek tersebut dengan presepsinya. Pada kenyataannya sebagian besar sikap, tingkah laku dan penyesuaian ditentukan oleh presepsinya.Laporan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2012 menunjukkan 44.14% masyarakat Indonesia kalau sakit atau keluarga sakit berusaha untuk mengobati sendiri. Menurut data yang didapatkan dari Provinsi, Riskesdas tahun 2010 persentase terbesar di rumah tangga yang mengobati sendiri bila sakit yaitu di daerah Gorontalo 86,7%, Nusa Tenggara Timur 81,4%, dan Kalimantan Selatan 77,6%.Menurut Tan dan Rahardja (2006) pengobatan sendiri dapat berdampak pada individu tidak mengenal keseriusan penyakit, dan penggunaan obat yang kurang tepat. Mengobati sendiri biasanya dapat menyebabkan seseorang tidak mengenali tingkat keseriusan penyakit dan penggunaan obat dari segi jenis obat, dosis, waktu maupun rute penggunaan obat dapat keliru. Hal ini dapat membahayakan kesehatan, menyebabkan penyakit tambah parah atau justru memperpanjang masa pengobatan. Adapun Keuntungan dari pengobatan sendiri yaitu praktis, ekonomis, mudah diperoleh, efisien, aman apabila digunakan sesuai petunjuk. Kerugiannya yaitu kurangnya pengetahuan tentang obat yang dapat menimbulkan efek samping dari obat (tidak mengetahui tidak memperhatikan peringatan dan kontra indikasi, interaksi obat) salah diagnosa, salah memilih terapi.Persepsi masyarakat terhadap pengobatan sendiri berbeda-beda ada yang memandang bahwa pengobatan sendiri itu menguntungkan, dapat menyembuhkan dan kadang ada masyarakat yang mempersepsikan pengobatan sendiri kurang menguntungkan dan bahkan merugikan (dapat membahayakan kesehatan, menyebabkan penyakit tambah parah atau justru memperpanjang masa pengobatan).Berdasarkan data dari dinas kesehatan Banjarmasin, Puskesmas dengan tingkat kunjungan terendah sebesar 79 % di Kota Banjarmasin adalah puskesmas terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin. Hasil studi pendahuluan pada tanggal 4 juni 2013 melalui wawancara dengan 20 masyarakat di wilayah Kerja Puskesmas terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin diperoleh keterangan dari 12 masyarakat bahwa ketika mereka sakit mereka mengobati penyakitnya sendiri. Mereka mempersepsikan bahwa melakukan pengobatan sendiri lebih menguntungkan, hemat biaya dan tidak merugikan serta tidak berbahaya, tapi sebenarnya pengobatan sendiri berisiko terjadinya keracunan, keliru obat, dan tidak mengenal keseriusan penyakit. Wawancara dengan petugas kesehatan diperoleh keterangan tentang Kasus individu yang mengalami keracunan obat dengan keluhan mual serta muntah, dan diare.Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik meneliti permasalahan ini pada penelitian yang berjudul “gambaran persepsi individu tentang pengobatan sendiri di Kelurahan Pemurus Luar wilayah kerja Puskesmas Terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin Tahun 2013”.
B. Rumusan masalahBerdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimanakah gambaran persepsi individu tentang pengobatan sendiri di Kelurahan Pemurus Luar wilayah kerja Puskesmas terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin Tahun 2013?”
C. Tujuan penelitianTujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran persepsi individu tentang pengobatan sendiri di Kelurahan Pemurus Luar wilayah kerja Puskesmas Terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin Tahun 2013.
D. Manfaat penelitianPenelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain :1. Manfaat TeoritisHasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak puskesmas dalam melakukan intervensi kepada masyarakat yang memiliki kebiasaan melakukan pengobatan sendiri.2. Manfaat PraktisHasil penelitian ini di harapkan memberi manfaat :a. Bagi MasyarakatSebagai bahan masukan bagi masyarakat dalam mengubah persepsinya tentang pengobatan sendiri.b. Bagi penulisMerupakan sarana untuk menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh tentang presepsi individu terhadap sakit serta menambah pengalaman dan keterampilan penulis dalam menyelesaikan permasalahan.c. Bagi Institusi PendidikanHasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pustaka bagi dan juga dapat menjadi dasar bagi institusi dalam melakukan penelitian selanjutnya.E. Keaslian Penelitian1. Penelitian ini dilakukan oleh Corina Nur Syeima (2009) Gambaran Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Masyarakat Rw 08 Kelurahan Pisangan Ciputat Tentang Self-Medication Terutama Dalam Penggunaan Obat Anti Nyeri Secara Rasional.Hasil penelitian : dari jumlah responden yang menangani nyeri dengan obat anti nyeri sebanyak 56 orang, Pengetahuan tentang cara pemakaian obat anti nyeri didapatkan 49 orang mengetahui cara yang tepat (87,5%), dan 7 orang tidak mengetahui cara yang tepat (12,5 %). Yang mengetahui dosis pemakaian obat anti nyeri secara tepat sebanyak 44 orang (78,6 %), dan yang tidak mengetahui sebanyak 12 orang (21,4 %). Dari pengetahuan tentang efek samping obat anti nyeri didapatkan 16 orang yang mengetahui efek samping (28,6 %), dan yang tidak mengetahui sebanyak 40 orang (71,4 %).Persamaannya terletak pada topik yaitu pengobatan sendiri dan Jenis penelitian sama-sama menggunakan jenis penelitian survey yang bersifat deskriptif.Perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan dengan penelitian di atas adalah judul, populasi, sampel, waktu, tempat, responden penelitian di atas adalah masyarakat di Kelurahan Pisangan Ciputat sedangkan responden yang akan peneliti lakukan adalah seluruh kepala keluarga yang ada di Kelurahan Pemurus Luar wilayah kerja Puskesmas Terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin dan penelitian di atas menggunakan cara pengambilan sampel yaitu simple random sampling sedangkan pengambilan sampel yang peneliti sekarang gunakan adalah purposive sampling.2. Penelitian Kartika US Manurung (2010) Pola Penggunaan Obat Dalam Upaya Pasien Melakukan Pengobatan Sendiri Di beberapa Apotek.Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Dari beberapa macam kelompok terapi obat yang paling banyak digunakan oleh responden adalah kelompok terapi analgetika/antipiretika (28,89%). Sebagian besar (87,77%) penggunaan obat dalam upaya pengobatan sendiri merupakan golongan obat bebas dan obat bebas terbatas.Persamaannya terletak pada topik yaitu pengobatan sendiri dan Jenis penelitian sama-sama menggunakan jenis penelitian survey yang bersifat deskriptif.Perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan dengan penelitian di atas adalah judul, populasi, sampel, waktu, tempat, responden penelitian di atas adalah pasien yang melakukan pengobatan di beberapa apotik sedangkan responden yang akan peneliti lakukan adalah seluruh kepala keluarga yang ada di Kelurahan Pemurus Luar wilayah kerja Puskesmas Terminal Km 6 Kota Madya Banjarmasin RT 1-31.
1Lihat komentar
-
Sep23
hubungan konsep diri dengan kemampuan interpersonal pasien rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin
hubungan konsep diri dengan kemampuan interpersonal pasien rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.Karya Nurul Hidayah 2013BAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangPenyalahgunaan Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA) adalah salah satu kasus yang banyak terjadi di masyarakat. Perserikatan Bangsa Bangsa untuk masalah kriminal dan obatan-obatan terlarang meluncurkan laporan tahunan konsumsi narkotika dan obat-obatan terbaru. Menurut laporan tersebut, satu persen dari pecandu NAPZA tewas akibat mengonsumsi zat-zat terlarang tersebut setiap tahunnya. sekitar 5 persen dari total populasi dunia pernah mencoba NAPZA, dan kini ada sekitar 27 juta orang yang kecanduan dan mengalami masalah soal penggunaan NAPZA (www.radioaustralia.net. Diakses tanggal 3 September 2012).
Menurut laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) Tahun 2011 jumlah pengguna narkoba atau NAPZA adalah 3, 81 juta (http://www.depdagri.go.id. Diakses tanggal 3 September 2012).
Sementara itu, di Indonesia sepanjang 2011 kepolisian berhasil mengungkapkan 23.531 kasus. Kasus-kasus tersebut terdiri dari narkotika 15.948 kasus, psikotropika 949 kasus, dan bahan berbahaya sebanyak 6.634 kasus (http://www.mediaindonesia.com diakses tanggal 3 September 2012).
Individu yang telah menggunakan NAPZA dan mengalami kecanduan hingga direhabilitasi pada umumnya akan mengalami permasalahan terhadap konsep dirinya. Seseorang yang pernah menggunakan dan kecanduan NAPZA akan mengalami perubahan pada konsep diri. Pada umumnya berpeluang untuk mengalami gangguan konsep diri yang negatif hal ini disebabkan karena penyalahguna NAPZA yang mengalami kecanduan hingga menjalani rehabilitasi mendapatkan stigma yang negatif dari masyarakat. Berdasarkan norma budaya, hukum dan agama umumnya masyarakat memandang perilaku tersebut sebagai tindakan yang negatif, sehingga penderita NAPZA yang terjebak pada perilaku tersebut akan mengalami gangguan pada konsep dirinya.
Menurut Willoughby, King dan Polatajko (1996), dalam Wong (2009) mengemukakan bahwa konsep diri adalah bagaimana individu menggambarkan dirinya sendiri. Istilah konsep diri mencakup konsep, keyakinan, dan pendirian yang ada dalam pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri dan yang mempengaruhi hubungan individu tersebut dengan orang lain.
Menurut Sunaryo (2004) mengemukakan lima komponen konsep diri, meliputi gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, identitas diri.
Konsep diri mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu, yaitu individu akan bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimiliki (Rahmat, 2000). Label yang diberikan pada sebagai pecandu narkoba dapat dipersepsi negatif atau positif oleh individu yang bersangkutan. Label yang dipersepsi negatif membuat individu menjadi terbebani, hal tersebut cenderung akan membawa efek negatif terhadap perkembangan sisi psikologisnya.
Individu akan merasa gagal dan terbuang ketika tidak dapat memenuhi tuntutan lingkungan, serta menjadi tidak percaya diri, merasa tidak berharga, dan rendah diri. Kondisi ini diperburuk dengan adanya fenomena di masyarakat yang memandang negative pecandu NAPZA WB Ary 2009 http://eprints.undip.ac.id.
Menurut Nashori (2008) menemukan bahwa konsep diri berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang konsep dirinya positif merasa dirinya setara dengan orang lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam menciptakan dan membina hubungan interpersonal yang efektif ditentukan oleh kemampuan individu dalam menilai dirinya secara positif dengan menerima dan menghargai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
Hubungan ini diperjelas oleh Stanley Coopersmith (1967) dalam penelitian Hartati (2011) yang mengemukakan bahwa sikap-sikap positif dan harapan mengenai diri pada orang yang memiliki harga diri yang tinggi akan membuat individu memiliki kemampuan sosial atau kemandirian sosial yang lebih baik dan kreativitas yang dimilikinya akan membimbingnya untuk lebih tegas dan lebih giat dalam melakukan tindakan sosial.
Konsep diri pengguna NAPZA yang negatif dapat berpengaruh terhadap sikapnya untuk bermasyarakat. Sikap menerima, merasa mampu untuk bergaul dan bekerja sama dalam suatu masyarakat hanya dimiliki oleh individu yang memiliki konsep diri yang positif. Pada individu yang memiliki konsep diri yang negative, pernah memiliki pengalaman buruk, dan stigma negatif dari masyarakat, maka hal ini dapat mempengaruhi sikapnya. Demikian halnya dengan pengguna napza yang menerima stigma buruk dari masyarakat maka konsep dirinya dapat negatif dan mempengaruhi sikapnya untuk bergaul dengan masyarakat.
Lebih jauh konsep diri dapat mempengaruhi kemampuan interpersonal seseorang. Kemampuan interpersonal adalah kemampuan dalam menjalani suatu hubungan yang akrab, yang dialami seseorang dengan individu lain, dimana dalam menjalin hubungan interpersonal tersebut terdapat unsur saling memperhatikan (Pace dalam Sukmono, Djohan dan Ellyawati, 2000).
Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin, jumlah penyalahgunaan napza mengalami peningkatan pada tahun 2010 berjumlah 54, tahun 2011 berjumlah 136 dan tahun 2012 berjumlah 140.
Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin pada tanggal 2 Februari 2013. Jumlah pasien korban penyalahgunaan NAPZA yang menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Sambang Lihum Banjarmasin sebanyak 24 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 pasien ketergantungan NAPZA, 6 orang merasa rendah diri, kurang di hargai merasa kehilangan peran di keluarga dan masyarakat karena harus menjalani masa rehabilitasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 10 responden 5 orang tampak menyendiri, diam ketika disapa, cara berbicara kurang sopan dan pemalu.Dirumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin untuk pasien rehabilitasi napza menggunakan model therapeutic community dan model pendekatan agama.
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Hubungan konsep diri dengan kemampuan interpersonal pasien rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin Tahun 2013.
1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “apakah ada hubungan konsep diri dengan kemampuan interpersonal pasien rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin?”.
1.3. Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumMenganalisis hubungan konsep diri dengan kemampuan interpersonal pasien rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.1.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Mengidentifikasi konsep diri pasien rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.1.3.2.2. Mengidentifikasi kemampuan interpersonal pasien rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.1.3.2.3. Menganalisis hubungan konsep diri dengan kemampuan interpersonal pasien rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin.
1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Bagi Rumah SakitHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi petugas kesehatan di rumah sakit dalam memberikan intervensi kepada pasien rehabilitasi NAPZA untuk mengubah konsep diri pasien yang semula negatif menjadi positif agar dapat meningkatkan kemampuan interpersonalnya.1.4.2. Bagi KeluargaHasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi pihak keluarga pasien untuk dapat terlibat dalam upaya mengubah konsep diri pasien yang semula negatif menjadi positif.1.4.3. Bagi Profesi KeperawatanHasil penelitian ini dapat menjadi bahan bagi pengembangan ilmu dibidang keperawatan terutama agar profesi keperawatan juga mempertimbangkan aspek konsep diri dalam asuhan keperawatan pasien rehabilitasi NAPZA.
1.5. Penelitian TerkaitPenelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain:1.5.1. Eka, Handayani (2011). Hubungan Lingkungan Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Remaja Pengguna NAPZA Pada Siswa Kelas XII SMKN 1 Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Skripsi, Program S1 Keperawatan Ners A Stikes Muhammadiyah Banjarmasin. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan dan pola asuh orang tua terhadap remaja pengguna NAPZA pada siswa kelas XII SMKN 1 Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Rancangan penelitian ini menggunakan survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian sebanyak 294 responden. Besarnya sampel 179 responden. Uji hipotesis dengan menggunakan uji chi square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara lingkungan terhadap remaja pengguna NAPZA pada siswa kelas XII SMKN 1 Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Ada hubungan yang signifikan antara peran orang tua terhadap remaja pengguna NAPZA pada siswa kelas XII SMKN 1 Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan.
1.5.2. Muhammad, Nizar. (2011). Peran Orang Tua Dalam Perlindungan Terhadap Bahaya Mengkonsumsi Alkohol Pada Siswa Di SMPN Pantai Hambawang. Skripsi, Jurusan S1 Keperawatan Ners A, STIK Muhammadiyah Banjarmasin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran orang tua dalam perlindungan terhadap bahaya mengkonsumsi alkohol pada siswa di SMPN Pantai Hambawang. Metode penelitian ini adalah descriptive. Teknik pengambilan sampel menggunakan strafied random sampling, populasinya adalah semua siswa kelas VIII dan IX SMPN Pantai Hambawang, dengan sampel sebanyak 72 responden. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah angket.
Perbedaan penelitian ini yaitu teletak pada variabel penelitian, tempat dan waktu penelitian. Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu konsep diri pasien rehabilitasi NAPZA, variabel terikat adalah kemampuan interpersonal pasien rehabilitasi NAPZA. Tempat penelitian di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin Tahun 2013.0Tambahkan komentar
-
Sep23
Hubungan antara pernikahan usia muda dengan kemampuan ibu dalam melaksanakan peran pengasuhan anak di wilayah Kerja Puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas Tahun 2013
Hubungan antara pernikahan usia muda dengan kemampuan ibu dalam melaksanakan peran pengasuhan anak di wilayah Kerja Puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas Tahun 2013Karya Norkamariah
BAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar belakangPernikahan usia muda banyak terjadi di seluruh dunia dengan berbagai latar belakang. Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun ironisnya praktik pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan.
Implementasi Undang-Undang pun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat. Praktek pernikahan usia dini paling banyak terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara didapatkan data bahwa sekitar 10 juta anak usia di bawah 18 tahun telah menikah, sedangkan di Afrika diperkirakan 42% dari populasi anak, menikah sebelum mereka berusia 18 tahun. Di Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda menikah saat mereka berusia 18 tahun. Prevalensi tinggi kasus pernikahan usia dini tercatat di Nigeria (79%), Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%)
Secara umum, pernikahan anak lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki, sekitar 5% anak laki-laki menikah sebelum mereka berusia 19 tahun. Selain itu didapatkan pula bahwa perempuan tiga kali lebih banyak menikah dini dibandingkan laki-laki.
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit untuk mengubah. Alasan ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua mendorong anaknya untuk menikah di usia muda.
Komunitas internasional menyadari pula bahwa masalah pernikahan anak merupakan masalah yang sangat serius. Implikasi secara umum bahwa kaum wanita dan anak yang akan menanggung risiko dalam berbagai aspek, berkaitan dengan pernikahan yang tidak diinginkan, hubungan seksual yang dipaksakan, kehamilan di usia yang sangat muda, selain juga meningkatnya risiko penularan infeksi HIV, penyakit menular seksual lainnya, dan kanker leher rahim. 3-10 Konsekuensi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan tentunya merupakan hambatan dalam mencapai Millennium Developmental Goal
Menikah pada usia muda, merupakan salah satu masalah keluarga yang belum terpecahkan dan sampai saat ini angkanya cukup mengejutkan karena secara nasional ada 47 % penduduk Indonesia yang menikah di bawah umur. Data menunjukkan dari angka rata-rata nasional ada 4,8 % penduduk yang menikah pada usia 10 - 15 tahun, sedangkan penduduk yang menikah pada usia 15-20 tahun tercatat 42 %.
Berdasarkan riset kesehatan dasar angka perkawinan di Kalimantan Selatan yaitu usia 10-14 tahun sebanyak 4,8% , 15-19 tahun atau sebanyak 42%, umur 20-24 tahun 33,6%. Tampak disini usia 15-19 menduduki angka tertinggi, padahal pada umur itu anak-anak masih harus berada dibangku sekolah. Sedangkan untuk Kalimantan Tengah angka perkawinan usia muda di bawah 20 tahun berjumlah 80 pasangan dan terdapat 10 ibu yang sudah menjandi janda.
Idealnya, perkawinan seorang wanita dilakukan pada usia 20 tahun keatas untuk kesiapan mental dan kedewasaan manusia di umur itu dinilai relatif cukup memadai. Salah satu faktor yang memicu terjadinya kawin usia muda adalah kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan anak-anak saat ini."Apalagi berdasarkan riset dari kantor BKKBN dari 100 remaja wanita yang diteliti 50 orang diantaranya sudah tidak perawan. Selain juga faktor ekonomi
Perkawinan usia muda pada dasarnya dapat mempengaruhi kemampuan orang tua dalam mengasuh anak. Orang tua yang menikah diusia muda pada umumnya diasumsikan tidak memiliki kesiapan mental untuk menjalankan tugas sebagai orang tua. Menurut Supartini (2004: 36) usia pernikahan yang terlalu muda dapat mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhan secara optimal. Hal ini disebabkan karena usia mempengaruhi kesiapan fisik dan psikososial. Apabila secara fisik dan mental dan sosial, orang tua tidak memiliki kemampuan untuk mengasuh anak maka peran ini tidak akan dapat dilaksanakan secara optimal.
Fenomena yang banyak terjadi di tempat penelitian adalah semakin meningkatnya kasus pernikahan usia muda sehingga kasus kehamilan usia muda pun cukup tinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah tahun (2011) menyatakan Ibu hamil usia muda yang umurnya di bawah 20 tahun ada 971 orang dan target ibu hamil tahun (2011) berjumlah 9178 orang (Dinkes Kalimantan Tengah, 2011).
Berdasarkan data Dinas Kabupaten Kapuas usia hamil dan tua muda berjumlah 7.079 dari 23 puskesmas yang tersebar di Kabupaten Kapuas. Puskesmas Pulau Telo merupakan puskesmas tertinggi ibu hamil usia muda yaitu 87 orang (44.3%)
Orang tua yang menikah dan punya anak pada usia muda ini memiliki peluang untuk tidak mampu melaksanakan peran pengasuhan anak dengan baik. Hal ini disebabkan karena usia menjadi orang tua akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menjalankan peran pengasuhan.
Ketika wanita telah menikah dan memiliki anak, mereka pada dasarnya bertanggung jawab untuk melaksanakan perannya sebagai ibu. Menurut Gunarsa (2006) ibu bertanggung jawab dalam mendidik dan mengasuh anak. Menurut Zaidin Ali (2009) peran ibu antara lain pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak anak, pelindung rumah tangga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan.
Jika wanita terlalu muda untuk menjadi ibu, maka hal ini dapat mengakibatkan dia tidak mampu melaksanakan perannya dengan baik dalam mengasuh anak. Hal ini terjadi karena usia muda pada umumnya tidak memiliki kematangan fisik dan mental.
Menurut Wong (2001) dalam Supartini (2004: 33) kemampuan orang tua dalam mengasuh anak dipengaruhi oleh faktor usia. Usia yang terlalu muda akan mengakibatkan orang tua tidak mampu melaksanakan peran pengasuhan secara optimal.
Hasil studi pendahuluan peneliti di Puskesmas Pulau Telo berdasarkan hasil observasi terdapat 68 ibu yang memiliki anak pada pernikahan diusia kurang dari 20 tahun. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 ibu yang sudah memiliki anak diusia kurang dari 20 tahun diperoleh keterangan bahwa secara mental mereka merasa tidak siap dalam mengasuh anak, air susu tidak keluar yang mengakibatkan kadang mereka merasa bingung, dan kadang mereka menyatakan stress karena anak mereka rewel dan mereka tidak tahu cara mengatasinya. Mereka menyatakan bahwa pada dasarnya pengetahuan mereka tentang cara mengasuh anak yang baik masih sangat terbatas, sehingga hal ini kadang menimbulkan kebingungan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka memilih dilakukan penelitian “Hubungan antara pernikahan usia muda dengan kemampuan ibu dalam melaksanakan peran pengasuhan anak di wilayah Kerja Puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas Tahun 2013.1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: “apakah ada hubungan antara pernikahan usia muda dengan kemampuan ibu dalam melaksanakan peran pengasuhan anak di wilayah Kerja Puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas Tahun 2013?”
1.3. Tujuan Penelitian1.3.1. Tujuan UmumMengetahui hubungan antara pernikahan usia muda dengan kemampuan ibu dalam melaksanakan peran pengasuhan anak di wilayah Kerja Puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas.
1.3.2. Tujuan Khusus1.3.2.1. Mengidentifikasi pernikahan usia muda di Wilayah Kerja Puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas tahun 2013.1.3.2.2. Mengidentifikasi kemampuan ibu dalam melaksanakan peran pengasuhan anak di Wilayah Kerja Puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas tahun 2013.1.3.2.3. Menganalisis hubungan antara pernikahan usia muda dengan kemampuan ibu melaksanakan peran pengasuhan anak di wilayah Kerja Puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas tahun 2013.
1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Bagi PemerintahHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam melakukan evaluasi terhadap permasalahan yang terjadi dimasyarakat untuk segera ditindaklanjuti.
1.4.2. Bagi PuskesmasHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi puskesmas untuk memberikan intervensi kepada ibu yang menikah diusia muda dan sudah memiliki anak untuk membantu mereka mempersiapkan kemampuan dalam melaksanakan peran pengasuhan sebagai orang tua.
1.4.3. Bagi bidang keperawatanHasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bagi pengembangan ilmu keperawatan dan dapat dipergunakan sebagai tambahan referensi dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga pada ibu yang menikah diusia muda.
1.4.4. Bagi Perguruan TinggiHasil penelitian ini dapat dijadikan referensi oleh seluruh mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin.
1.4.5. Bagi PenelitiHasil penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi peneliti yang dapat dijadikan bekal untuk melakukan penelitian selanjutnya dan dapat dipakai oleh peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti permasalahan yang sama.
1.5. Penelitian TerkaitPenelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:1.5.1. Bachriah (2011), “Gambaran Pengetahuan Remaja Putri Tentang Risiko Kehamilan pada Usia Muda di Puskesmas Rawat Inap Danau Panggang Kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2011”. Metode penelitian diskriptif, populasi penelitian semua remaja putri yang ada di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Danau Panggang. Hasil penelitian adalah pengetahuan dengan katagori baik terhadap penundaan usia perkawinan yaitu baik 5 orang (1,9%), kategori sedang 64 orang (24,6 %) sedangkan kategori kurang 191 orang (73,5%).
1.5.2. Sahriah (2012), “ Hubungan peran orang tua (ibu) dalam pencegahan campak dengan kejadian campak pada anak di TK Raudatul Athfal Nurul Husna Alalak Tengah Banjarmasin. Metode penelitian ini adalah analitik korelasional, populasinya adalah orang tua murid Tk Islam Raudatul Athfal Nurul Husna dengan mengunakan teknik cluster proporsional random sampling dan dianalisa mengunakan uji statistiik chi-aquare. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukan bahwa peran orang tua (ibu) dalam pencegahan campak sebagian termasuk dalam peran yang baik yaitu sebanyak 30 responden (62,5%) dan kejadian campak pada anak cendrung negatif yaitu sebanyak 28 orang anak (58,3%) berdasarkan analisis uji chiquare menunjukan nilai p ≤ 0,05 yaitu 0,000 ≤ 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa ho ditolak yaitu ada hubungan yang bermakna antara peran orang tua (ibu) dalam pencegahan campak dengan kejadian campak pada anak.
1.5.3. Penelitian Alpiat (2012), “hubungan peran ibu dalam pemenuhan asupan makanan dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Gadang Hanyar Kota Banjarmasin. Metode penelitian ini adalah analitik dengan rancangan cross sectional. Popusi penelitian ini adalah semua ibu yang memenuhi suatu criteria inklusi, ibu, pengambilan sampel mengunakan cara purposive sampling sebanyak 83 sampel. Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan antara peran ibu dalam pemenuhan asupan makanan dengan status gizi dengan r = 0,908 dan nilai p = (p ≤ 0,05).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel, tempat dan waktu penelitian.Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu pernikahan usia muda dan variabel terikat Kemampuan ibu dengan melaksanakan peran pengasuhan anak di wilayah kerja puskesmas Pulau Telo Kabupaten Kapuas Tahun 2013
Tambahkan komentar